A. Teologi
Filsafat dan ilmu yang dikenal
didunia barat dewasa ini berasal dari zaman Yunani kuno. Pada zaman itu
filsafat dan ilmu jalin menjalin menjadi satu dan orang tidak memisahkannya
sebagai dua hal yang berlainan. Keduanya termasuk ke dalam pengertian episteme.
Kata philisophia merupakan suatu padanan kata dari episteme.
Menurut konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles, episteme adalah “suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat.” Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia. Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional itu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang disebutnya:
Menurut konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles, episteme adalah “suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat.” Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia. Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional itu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang disebutnya:
1. Praktike (pengetahuan praktis)
2. Poietike (pengetahuan
produktif)
3. Theoreitike (pengetahuan
teoritis)
Manusia dengan latar belakang,
kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal?
Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur
kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana
pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat
berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan
pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya
yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan
tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Teologi adalah merupakan ilmu
yang mengkaji tentang Ketuhanan. Yang mana orang yang mengkaji ilmu tersebut
disebut sebagai teolog. Hal ini dapat dinilai dengan suati kajian ilmu yang lai
yaitu aksiologi. Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios”
(yunani) yang berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi
adalah teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya
kelompok eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives, yakni
universalisme, komunalisme desinterestedness, dan skeptisme yang teratur. Teori
tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.
B. Ontologi
Ontology merupakan salah satu
dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori
tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik
(al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontology
merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan
yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat
tentang apa dan bagaimana yang ada.
Dalam pemahaman ontology dapat
dikemukakan pandangan pokok sebagai berikut:
1. Aliran Pluralisme, aliran ini berpandangan
bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan dan menyatakan ala mini tersusun
dari banyak unsure serta lebih dari satu itentisa. Tokoh aliran ini adalah
Anaxsagoras, Danempedcles yang menyebutkan bahwa subtansi yang ada itu tebentuk
dari empat unsure yaitu: Tanah, Air, Api dan Udara.
2. .Aliran Nihilisme merupakan
sebuah doktrin yang tidak mengakui Validitas alternative yang positif. Gorgias
berpandangan bahwa ada tiga proposisi tentang realitas. Tidak ada satupun yang
eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran tidak
menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila suatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya, pengideraan
adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam
semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita berfikir sesuai
dengan kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena. Sekalipun realitas itu
dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada orang lain.
3. Aliran Agnotisme, aliran ini
merupakan sebuah penyangkalan terhadap kemampuan Manusia mengetahui hakikat
benda, baik materi meupun ruhani, hal ini mirip dengan skeptisme yang
berpendapat bahwa manusia diragukan dalam mengerahui hakiakt. Tetapi Agnotisme
lebih dari itu.
Kattsoff banyak memberikan
term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya; yang ada, kenyataan, eksitensi,
perubahan, tunggal, dan jamak. Secara ontology ilmu membatasi lingkup
pengalaman keilmuannya yang hanya pada daerah-daerah yang barbed dalam jangkauan
pengalaman manusia. Objek pengalaman yang berada dalam batas pra-pengalaman dan
pasca-pengalaman.
Penetapan lingkup batas
penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah merupakan konsistensi pada
batas epistemology keilmuan. Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran
tentang hakikat realitas dari objek ontology keilmuan.
C. Epistimologi
Definisi epistemologi adalah
suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar
dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu,
makrifat, dan pengetahuan manusia
Pokok Bahasan Epistemologi
Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi
epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah
ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan
dijelaskan:
1. Cakupan pokok bahasan, yakni
apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian
khusus seperti ilmu hushûlî[4]. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda
dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Makna leksikal ilmu adalah
sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains,
teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti
hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b. Ilmu adalah kehadiran
(hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat
Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
c. Ilmu yang hanya dimaknakan
sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d. Ilmu adalah pembenaran
(at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum
diyakini.
e. Ilmu adalah pembenaran yang
diyakini.
f. Ilmu ialah kebenaran dan
keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g. Ilmu adalah keyakinan benar
yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang
saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan
geografi.
h. Ilmu ialah gabungan
proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang
linguistik.
i. Ilmu ialah kumpulan
proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2. Sudut pembahasan, yakni
apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana
subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi,
logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan
dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat
keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan
filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga
menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru
dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab
hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi
mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan
pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam
pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji
kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan
batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî
juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang
diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan
sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan memperhatikan definisi
dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah
menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya
memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi
seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan
dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan
yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
Perjalanan historis
epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah.
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan
relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara
relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
1. Sejarah Epistemologi dalam
Filsafat Barat
Apabila kita membagi
perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad
pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya
filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga
lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan
filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam
epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi
ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah
satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca
itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan
ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan
Descartes mengalami suatu perubahan baru.
2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno
Berdasarkan penulis sejarah
filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah
Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok
ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari
epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang
valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang
menipu.
Heraklitus berbeda dengan
Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan
tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa
dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan
ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan
ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu,
maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu,
sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar
Skeptisisme.
Kaum Sophis ialah kelompok pertama
yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas
hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan
kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.
Pythagoras berkata, “Manusia
merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan
mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih
menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa
indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan
segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari
penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan
ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber
lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Pengetahuan hakiki dalam
pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana
pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan.
Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan
perkiraan belaka. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat
lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa
panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu
bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran
atas perkara-perkara indriawi.
Aristoteles, murid Plato,
lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada
menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin
bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan
di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada
kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional.
Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat
gamblang yang diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal,
abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun
ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi
secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan
pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi), dengan demikian, pencapaian
hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.
Kelompok Rawaqiyun yang yakin
pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi
universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka
beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu.
Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur
kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Kaum Skeptis beranggapan bahwa
kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya.
Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian
lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum
Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama
kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua
Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian
dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).
Walhasil, epistemologi di
zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas
dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan,
jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis
serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu,
dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
3. Epistemologi pada Abad
Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)
Inti pembahasan di abad
pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat
keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan
kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo
platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam
epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan
persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2.
Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama
berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan
akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’
dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di
atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).
Augustine (354-430 M)
beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam
ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu
iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan
proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa
diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah,
tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan
pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa
diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya
ada“.
4. Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di
abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni
apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep
abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh
Aristoteles. Apakah “universal” itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar.
Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah “universal” itu
hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu
eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama dengan wujud “partikular”
yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam
eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh “manusia
universal”. Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah konsep universal
yang ada di alam pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri
memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya
bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal” itu
hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek
individual?.
Upaya-upaya pemikiran di abad
pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran:
1. Realisme (universalitas itu
memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato),
2. Idealisme (universal itu hanya
terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles),
3. Nominalisme (menetapkan
kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah
orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata,
walaupun iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan
Aristoteles.
Roscelin (1050-1120 M)
berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular,
sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat
kata-kata semata.
Peter Abelard (1079-1142 M)
memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep
universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud
luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu
merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang
realitas-realitas hakiki dan eksternal.
Segala kaidah filsafat dan
ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika
seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan
menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima,
karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya
terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal
yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki
individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan
hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan “universalitas”
memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M)
ialah orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa
alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi
matematik yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.
Thomas Aquinas (1225-1274 M)
yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan
lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar,
kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan
membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan
dengan pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M)
adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun,
sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan
menolaknya, karena ia menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara
pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu
sebagai “konsep-konsep”.
Kesimpulan
Filsafat
pengetahuan merupakan suatu ilmu yang sangat urgen diketahui dan dipahami oleh
peminat ilmu-ilmu univerasal, apatah lagi ia berguna untuk melacak kebenaran
suatu mazhab dan ideologi, misalnya sophisme, skeptisisme, rasionalisme,
empirisisme, peripatetisme, iluminasi, hikmah muta’aliyah, materialisme,
eksistensialisme, humanisme, dan agama-agama. Untuk itu, mari kita bersama
mengkaji aliran-aliran epistemologi yang ada dan memperdalam pengetahuan kita
terhadap epistemologi yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam kontemporer,
seperti Allamah Thaba-tahabai, syahid Sadr, Syahid Muthahari, Hairi Yazdi, dan
lainnya. Mungkin dengan ini kita bisa memperkukuh keberagaman kita dan tidak
terombang ambingkan oleh berbagai isykal dan syubhat yang ditiupkan tentang
masalah eksistensi Tuhan, wahyu, kenabian, Maad, dan ajaran-ajaran agama Islam
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar