Daftar Isi
Bahan I : Logika Formal dan Logika Dialektik
Bahan II : Keterbatasan Logika Formal
Bahan III : Sekali Lagi, Tentang
Keterbatasan-Keterbatasan Logika Formal
Bahan I:
Logika Formal dan Logika
Dialektik
Pelajaran di bawah ini adalah
tentang pemikiran dialektika materialis, atau apa yang dikenal sebagai logika
Marxisme.
Betapa mengejutkan, apakah
pelajaran ini memang penting? Di sini berkumpul anggota dan simpatisan dari
sebuah partai revolusioner yang, di tengah-tengah perang dunia ke II, sedang
berada di bawah tekanan pemerintahan. Perang tersebut merupakan sebuah perang
terbesar dalam sejarah dunia. Buruh-buruh industri, kaum revolusioner
profesional, berkumpul bersama bukan untuk membicarakan dan memutuskan sebuah
aksi bersama, tapi untuk mempelajari sebuah ilmu yang menjadi tuntunan—sama
seperti matematika tingkat tinggi—bagi perjuangan politik sehari-hari sekarang
ini.
Alangkah berbedanya dengan
karikatur yang menyakitkan tentang gerakan marxis seperti yang di gambarkan
oleh tangan-tangan kelas kapitalis! Kelas-kelas pemilik menggambarkan kaum
sosialis yang revolusioner sebagai orang-orang gila yang culas dan sedang
membohongi diri sendiri dan orang lain dengan pandangan-pandangan fantastisnya
tentang dunia kelas buruh. Kita pun bisa
membuat karikatur seperti itu: penguasa-penguasa kapitalis layaknya seperti
anak-anak kecil yang yang sedang marah melihat gambaran sebuah dunia tanpa ada
mereka atau tanpa peran sentral mereka.
Mereka mengaku bahwa mereka lebih
logis dan masuk akal. Akhirnya, kini telah terbukti bahwa, dengan melihat
bagaimana cara mereka memandang dunia, bisa dipisahkan siapa sebenarnya yang
irasional dan siapa yang rasional dan masuk akal: kaum kapitalis kah atau
musuhnya—kaum revolusioner. Susunan masyarakat pada saat ini sedang menuju ke
arah kekacauaan dan berlaku seperti seorang maniak. Mereka menenggelamkan dunia
ke dalam pembunuhan massal untuk kedua kalinya dalam seperempat sejarah
manusia; mereka menyalakan obor peradaban; namun kemudian menghancurkannya
tanpa sisa-sisa kemanusiaan. Dan juru bicara mereka selalu menyebutkan kita
“gila”, dan perjuangan kita untuk sosialisme dilihat sebagai sebuah bukti yang
“tidak realistis”.
Mereka yang salah! Dalam
pertempuran melawan kekacauaan-gila kapitalisme, demi sebuah sistim sosialis
yang bebas dari penghisapan dan penindasan kelas, bebas dari perang, bebas dari
krisis, bebas dari perbudakan imperialisme dan bebas dari barbarisme—kita, kaum
marxis, merupakan orang-orang yang paling beralasan dan masuk akal sepanjang
hidup kita. Itu lah mengapa—tidak seperti kelompok-kelompok politik
lainnya—kita harus mempelajari ilmu logika secara serius. Perjuangan kita
melawan kapitalisme, demi sosialisme, tak bisa digagalkan dengan cara
menghancurkan logika kita karena logika kita adalah sebuah alat yang tak dapat
dihancurkan.
Logika atau cara pikir dialektika
materialis, pasti lah berbeda dengan logika atau cara pikir borjuis yang ada
sekarang ini. Metode kita, ide-ide kita—seperti yang ingin kita buktikan—lebih
ilmiah, jauh lebih praktis dan jauh lebih “logis” ketimbang logika (cara pikir)
lainnya. Kita menyusunnya dengan berbagai perbandingan dan jauh lebih lengkap
karena diisi oleh prinsip-prinsip mendasar ilmu-pengetahuan yang bisa menemukan
logika hakikat relasi-relasi semua realita—oleh karenanya, hukum-hukum berfikir
bisa disebarkan luaskan pada yang lain (pada masyarakat di sekeliling kita yang
terlihat tak berperasaan) dan dapat dipelajari. Itu lah metode kita—walaupun
harus hidup di tengah-tengah kegilaan kelas kapitalis. Tugas kita adalah
menemukan hukum-hukum yang paling umum dari logika terdalam alam, masyarakat
dan jiwa manusia. Sementara borjuis kehilangan akal sehatnya, kita harus
mencoba mengembangkan dan memperjelas logika kita.
1. Pengertian Awal Logika
Logika adalah sebuah ilmu. Setiap
ilmu memperlajari suatu gerak khusus dalam hubungannya dengan corak gerak material lainnya, dan
berusaha untuk menemukan hukum-hukum umum dan corak tertentu dari gerakan
tersebut. Logika adalah ilmu tentang proses berfikir. Seorang akhli logika
mempelajari kegiatan-kegiatan proses berfikir yang ada di kepala setiap manusia
dan mencoba merumuskan hukum-hukum, bentuk-bentuk dan inter-relasi semua proses
mentalnya.
Dua tipe penting logika pernah
muncul dalam dua tahap perkembangan ilmu logika, yakni: logika formal dan
logika dialektik. Keduanya merupakan bentuk-bentuk perkembangan tertinggi gerak
mental. Keduanya memiliki kesesuaian fungsinya—pengertian sadar terhadap semua
bentuk gerak.
Walaupun kita baru saja tertarik
pada dialektika materialis, jangan lah kita langsung mempelajari dialektika
materialis sebagai cara berfikir. Kita harus mendekati dialektika secara tidak
langsung dengan pertama kali menguji ide-ide mendasar dari jenis lain cara
berfikir: cara berfikir logika formal. Sebagai metode berfikir, logika
formal adalah lawan dari dialektika
materialis.
Dalam ilmu logika, mengapa kita
harus memulai pelajaran kita tentang motode dialektika dengan mempelajari
lawannya?
2. Perkembangan Logika
Ada beberapa alasan mengapa cara
tersebut kita ambil. Pertama, dalam sejarah perkembangan cara berfikir,
dialektika merupakan perkembangan lebih lanjut dari logika formal. Logika
formal adalah sebuah ilmu-pengetahuan besar tentang sistim proses berfikir. Logika
formal merupakan hasil karya filasat zaman yunani kuno. Pemikir-pemikir Yunani
kuno awal lah yang menemukan metode berfikir. Pemikir Yunani kuno, seperti
Aristoteles, mengumpulkan, mengkelasifikasikan, mengkritik dan mensistimasikan
hasil-hasil positif dari berbagai pemikiran dan membangun sebuah sistim
berfikir yang disebut logika formal. Euklides melakukan hal yang sama untuk
dasar-dasar geoemetri; Archimides untuk dasar-dasar mekanika; Ptolomeus dari
Alexandria kemudian menemukan astronomi dan geografi; dan Galen untuk anatomi.
Logika aristoteles mempengaruhi
cara berfikir umat manusia selama dua ribu tahun. Cara fikir tersebut tidak
memiliki lawan sampai kemudian ditantang, dijatuhkan dan menjadi ketinggalan
zaman oleh dan karena dialektika, sebuah sistim besar kedua dalam ilmu cara
berfikir. Dialektika merupakan hasil dari gerakan ilmu-pengetahuan revolusioner
selama seabad, yang dilakukan oleh pekerja-pekerja intelektual.
Dialektiaka muncul sebagai cara fikir
terbaru dari filsuf-filsuf besar dalam Revolusi Demokratik di Eropa Barat pada
abad ke-6 dan abad ke-17. Hegel, seorang tokoh dari sekolah filsafat idealis
(borjuis) di Jerman, adalah seorang guru besar yang pertama kali
mentransformasikan ilmu logika, seperti di sebutkan oleh Marx: “bentuk-bentuk
umum gerakan dialektika yang memiliki cara yang
komprehensif dan sadar sepenuhnya.”
Marx dan Engels adalah murid
Hegel di lapangan Logika. Dalam ilmu logika, mereka berdua lah yang kemudian
melakukan revolusi pada revolusi Hegelian—dengan menyingkirkan elemen mistik
dalam dialektikanya, dan menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah
landasan material yang konsisten.
Pada saat kita mendekati
dialektika materialis dengan menggunakan logika formal, kita harus memundurkan langkah kita pada
sejarah aktual kemajuan ilmu logika, yakni perkembangan dari logika formal
menuju ke logika dialektik.
Adalah salah jika kita mengira
bahwa sejarah perkembangan cara berfikir adalah seperti ini: bahwa para filsuf
Yunani tidak mengetahui soal dialektika; atau mengira Hegel dan Marx menolak
sepenuhnya logika formal. Seperti yang dituliskan oleh Engels: “filsuf yunani
kuno sudah dialektik sejak kemunculannya dan Aristoteles, sebagai intelektual
yang paling ensiklopedis di antara mereka, bahkan sudah menganalisa bentuk-bentuik
paling esensial pemikiran dialektik.” Tak ketinggalan pula, dialektika muncul
dalam bentuk cikal bakalnya dalam pemikiran filsuf Yunani. Namun filsuf Yunani
belum dan tidak dapat mengembangkan serpihan-serpihan pemikiran dialektik dalam
sebuah sistimatika berfikir yang ilmiah. Mereka menyumbangkan serpihan-serpihan
pemikiran tersebut hingga menjadi bentuk akhir logika formal Aristoteles. Pada
saat yang bersamaan, penelitian dialektika mereka, kritisisme pada cara fikir
formal dan sebaliknya—dan semua persoalan yang dihadapinya—dilakukan dengan
keterbatasan logika formal, yang diperjuangkan selama berabad-abad—yang,
kemudian, dapat diselesaikan oleh dialektika hegelian dan, kini, oleh
dialektika marxis.
Para akhli Dialektika modern
tidak melihat logika formal sebagai sesuatu yang tak berguna. Sebaliknya,
mereka menganggap bahwa logika formal tidak sekadar sesuatu yang penting dalam
sejarah perkembangan metode berfikir tapi juga cukup penting pada saat ini agar
berfikir benar. Tapi, dalam dirinya, logika formal jelas kurang lengkap.
Unsur-unsur absyahnya menjadi bagian dalam dialektika. Hubungan antara logika
formal dengan dialektika menjadi berkebalikan.
Di dalam pemikiran Yunani klasik sisi formal logika menjadi dominan dan
aspek dialektiknya menjadi tergeser. Dalam ajaran modern, dialektika berada di
garda depan dan sisi formal logika menjadi sub-ordinat terhadapnya.
Karena kedua tipe yang
bertentangan tersebut memiliki banyak kesamaan, dan logika formal masuk sebagai
materi struktural dalam kerangka logika dialektik, maka berguna sekali bagi
kita menguasai logika formal. Dalam mempelajari logika formal secara tak
langsung kita sudah siap menuju logika dialektik. Dengan mengakui, atau setidaknya sedikit mengakui, logika
formal, kita telah siap memisahkan logika formal dari logika dialektik. Hegel
menunjukkan hal yang sama: ”Dalam kedekatannya yang terbatas (antara logika
formal dan logika dialektik) terdapat suatu kotradiksi yang bisa menyumbangkan
sesuatu ke belakang dirinya (logika dialektik).”
Akhirnya, lewat prosedur
tersebut, kita mendapatkan pelajaran berharga dalam pemikiran dialektik. Hegel
menjelaskan lagi: “Sesuatu tidak bisa dikenali secara menyeluruh sebelum
mengenali lawannya.” Contohnya, kau tidak dapat benar-benar mengerti tentang
seorang buruh-upahan sampai kau mengetahui bagaimana sebaliknya lawan sosial
ekonominya, kelas kapitalis. Kau tidak dapat mengetahui Trotskyisme sampai kau mempelajari secara mendalam esensi
antitesis politiknya, yakni Stalinisme. Jadi kau tak akan bisa mempelajari
kedalaman dialektika tanpa pertama kali mempelajari secara mendalam sejarah
pendahulunya dan antitesis teoritisnya, yakni logika formal.
3. Tiga Hukum Dasar Logika Formal
Ada tiga hukum dasar logika
formal. Yang pertama dan terpenting adalah hukum identitas. Hukum tersebut
dapat disebutkan dengan berbagai cara seperti: “sesuatu adalah selalu sama
dengan atau identik dengan dirinya, dalam Aljabar: A sama dengan A.”
Rumusan khusus hukum tersebut tak
terlalu penting. Pemikiran esensial dalam hukum tersebut adalah seperti
berikut. Dengan mengatakan bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya, maka dalam
segala kondisi tertentu sesuatu itu tetap sama dan tak berubah. Keberadaannya
absolut. Seperti yang dikatakan oleh akhli fisika: ” materi tidak dapat di buat
dan dihancurkan.” Materi selalu tetap sebagai materi.
Jika sesuatu adalah selalu dan
dalam semua kondisi sama atau identik dengan dirinya, maka ia tidak dapat tidak
sama atau berbeda dari dirinya. Kesimpulan tersebut secara logis patuh pada
hukum identitas: Jika A selalu sama
dengan A, maka ia tidak pernah sama dengan bukan A (Non-A).
Kesimpulan tersebut dibuat secara
eksplisit dalam hukum kedua logika formal: hukum kontradiksi. Hukum kontradiksi
menyatakan bahwa A adalah bukan Non-A. Itu tidak lebih dari sebuah rumusan
negatif dari pernyataan posistif, yang dituntun oleh hukum pertama logika
formal. Jika A adalah A, maka menurut pemikiran formal, A tidak dapat menjadi
Non-A. Jadi hukum kedua dari logika formal, yakni hukum kontradiksi, membentuk tambahan
esensial pada hukum pertama. Beberapa contoh: manusia tidak dapat menjadi bukan
manusia; demokrasi tidak dapat menjadi tidak demokratik; buruh-upahan tidak
dapat menjadi bukan buruh-upahan.
Hukum kontradiksi menunjukkan
pemisahan perbedaan antara esensi materi dengan fikiran. Jika A selalu sama
dengan dirinya maka ia tidak mungkin berbeda dengan dirinya. Perbedaan dan
persamaan menurut dua hukum di atas adalah benar-benar berbeda, sepenuhnya tak
berhubungan, dan menunjukkan saling berbedanya antara karakter benda (things)
dengan karakter fikiran (thought)
Kwalitas yang saling berbeda dan
terpisah dari setiap benda ditunjukkan dalam hukum yang ketiga logika formal.
Yakni: hukum tiada jalan tengah. (the law of excluded middle). Menurut hukum
tersebut segala sesuatu hanya memiliki salah satu karakteristik tertentu. Jika
A sama dengan A, maka ia tidak dapat sama dengan Non-A. A tidak dapat menjadi
bagian dari dua kelas yang bertentangan pada waktu yang bersamaan. Dimana pun
dua hal yang berlawanan tersebut akan saling bertentangan, keduanya tidak dapat
dikatakan benar atau salah. A adalah bukan B; dan B adalah bukan A. Kebenaran
dari sebuah pernyataan selalu menunjukkan kesalahan (berdasarkan lawan
pertentangannya) dan sebaliknya.
Hukum yang ketiga tersebut adalah
sebuah kombinasi dari dua hukum pertama dan berkembang secara logis.
Ketiga hukum tersebut mencakup
sebagian dasar-dasar logika formal. Alasan-alasan formal berjalan menurut
proposisinya. Selama 2.000 tahun aksioma-aksioma yang jelas dalam sistim
berfikir Aristoteles telah menguasai cara berfikir manusia, layaknya hukum
pertukaran dari nilai yang sama, yang telah membentuk fondasi bagi produksi
komoditi masyarakat.
Lihatlah contoh dariku tentang
sistim berfikir Aristoteles, sebagai berikut: dalam bukunya yang berjudul
Posterior Analytics ( Buku I; Bagian 33), Aristoteles mengatakan bahwa
seseorang tidak dapat secara terus menerus memahami bahwa manusia pada dasarnya
adalah hewan, dengan demikian bisa juga dikatakan bahwa manusia adalah bukan hewan.
Dengan demikian, manusia pada dasarnya adalah
seorang manusia dan tidak dapat dianggap bukan manusia.
Hal tersebut seperti yang
diungkapkan dalam hukum logika formal. Kita mengetahui bahwa hal itu berlawanan
dengan kenyataan. Teori perkembangan alam mengajarkan bahwa tidak bisa
lain—manusia pada dasarnya adalah binatang. Secara logika manusia adalah
binatang. Tapi kita ketahui juga dari teori evolusi sosial, bahwa manusia
adalah kelanjutan dari perkembangan evolusi binatang. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa secara esensial ia adalah manusia, yang spesiesnya cukup berbeda dengan
binatang lainnya. Kita mengetahui bahwa hal tersebut merupakan dua hal: yang
satu dengan yang lainnya berbeda pada saat yang bersamaan. Aristoteles dan
hukum logika formal tidak dapat berlaku lagi.
4. Isi Material dan Realitas
Obyektif Hukum-hukum Tersebut
Kita bisa melihat dari contoh
tersebut betapa cepat dan spontannya karakter dialektik suatu materi, oleh
karena itu, dengan segera, muncul lah pemikiran yang merupakan cermin kritis
terhadap pikiran formal. Walaupun ada suatu intensitas yang mengetatkan logika
formal, namun tetap saja kita akan tergiring dan terdorong untuk melangkah
lebih ke depan, melewati batas logika formal, pada saat kita hendak mencari
kebenaran sesuatu hal. Dan sekarang kita kembali kepada logika formal
Seperti yang aku katakan
sebelumnnya, dialektika modern tidak menolak kebenaran yang dikandung oleh
hukum-hukum logika formal. Sikap penolakan terhadap logika formal akan
berlawanan dengan semangat dialektika, yang melihat beberapa kebenaran dalam
kenyataan logika formal itu sendiri. Pada saat bersamaan, dialektika membuat
kita bisa melihat batas-batas dan kesalahan dalam memformalkan pandangan
tentang sesuatu.
Hukum-hukum logika formal
berisikan unsur-unsur kebenaran yang sangat penting dan tak bisa ditolak. Semua
hukum tersebut bukan lah merupakan jeneralisasi pikiran-pikiran yang random dan
hasil khayalan yang tak berarti. Hukum-hukum tersebut keluar lewat sebuh proses
dunia nyata yang, selama ribuan tahun, oleh Aristoteles dan para pengikutnya,
digunakan oleh peradaban manusia. Jutaan orang yang belum pernah mendengar
tentang Aristoteles dan pikiran-pikirannya, sampai sekarang, berpikir untuk
mengabaikan hukum-hukum awal yang pertama kali dirumuskannya. Mereka, yang
seperti itu, tak akan bisa sampai mengerti tentang hukum-hukum gerak
Newton—walaupun mereka dapat melihat kerangka fisik setiap hasil pemikiran
Newton, namun mereka gagal memahami teori Hukum Newton tersebut secara lengkap.
Dalam dunia obyektif, mengapa orang berfikir dan melakukan pensejajaran antara
hukum-hukum Newton dengan hukum-hukum Aristoteles. Karena, kenyatannya, hukum
berpikir Aristotles memiliki isi yang material, sama halnya juga dalam dunia
objektif, sama halnya juga dalam hukum gerak mekanika Newton. “…metode berpikir
kita, apakah itu logika formal atau
logika dialektik, bukan lah sebuah susunan serampangan akal sehat kita
tapi lebih sebagai sebuah ekspresi interelasi-aktual dalam alam kita
sendiri.”[1]
Karakter macam apa yang ada dalam
realitas material yang hendak dicerminkan, dan secara konseptual dihasilkan
kembali, oleh hukum-hukum berfikir formal?
Hukum identitas bertujuan
merumuskan fakta material agar bisa mendefinisikan segala sesuatu dan
memperlakukan segala hal dalam semua perubahan fenomenanya. Dimana pun
kelanjutan (perubahan) esensial hadir dalam realitas, hukum identitas tetap
bisa mendeteksinya.
Kita tak bisa berbuat atau
berfikir secara sadar bila menolak hukum tersebut. Jika kita tidak bisa lagi
mengenali diri kita sendiri karena amnesia atau karena sesuatu hal—karena
kerusakan mental, misalnya—hingga menghilangkan kesadaran identitas pribadi
kita, maka diri kita akan hilang. Tapi hukum identitas hanya lah absyah untuk
melihat dunia secara universal ketimbang untuk melihat kesadaran manusia itu
sendiri. Hukum tersebut muncul setiap hari dan dimana saja dalam kehidupan
sosial. Jika kita tidak bisa mengenali bagian mental yang sama, lewat beberapa
tindakan, maka kita tidak akan bisa melakukan produksi. Jika seorang petani
tidak bisa mengerti perkembangan jagung yang ia tanam dari biji sampai
menghasilkan jagung lagi, dan kemudian menjadi bahan makanan, maka tidak
mungkin ada pertanian.
Anak-anak yang telah mengerti
lebih jauh, bisa memahami alam dunianya saat pertama kali ia menemukan fakta
bahwa ibu yang menyusuinya adalah orang yang sama yang, dengan berbagai cara,
memberinya makan. Pengenalan kebenaran dengan cara seperti itu tak lain
merupakan sebuah contoh khusus tentang pengenalan terhadap hukum identitas.
Jika kita tidak jernih melihat
proses perkembangan dan perubahan-perubahan menuju negara kelas pekerja, maka
kita tentu saja akan dengan mudah terjebak dalam kekacauan pemahaman saat
berupaya untuk mengerti tentang perjungan kelas yang ada sekarang. Dalam
kenyataannya, oposisi borjuis kecil menjawab dengan cara yang salah ketika
merespon persoalan yang terjadi di Rusia, tidak hanya karena mereka menolak
metode dialektik, tapi juga karena mereka tak bisa mengaplikasikan hukum
identitas secara tepat. Dalam proses perkembangan Soviet Rusia, mereka tak bisa
melihat—lepaskan dari Uni Sovyet yang di bangun selanjutnya oleh rejim
Stalin—bahwa Uni Soviet bisa mempertahankan landasan–landasan sosial ekonomi
negara kelas pekerja, yang didirikan oleh kelas buruh dan petani Rusia setelah
revolusi oktober. Kelasifikasi secara benar, yang lepas dari perbandingan yang
berbasiskan suka tidak suka, merupakan suatu basis yang sangat penting dan
sebagai langkah awal dalam investigasi ilmiah. Kelasifikasi sangat penting untuk
memilah penambahan terhadap kelas yang sama dan pengurangan terhadap kelas yang
berbeda serta untuk menyatukan kelas-kelas yang berbeda—semua itu tak mungkin
dilakukan tanpa menggunakan hukum identitas. Teori Darwin tentang revolusi
pengorganisasian manusia berasal dan tergantung dari pengenalan terhadap
identitas esensial berbagai makhluk yang berbeda di atas bumi ini. Hukum gerak
mekanik Newton dapat disimpulkan berasal dari gerak massa, dari logika batu
jatuh hingga planet-planet yang berputar dalam sistim matahari. Semua
ilmu-pengetahuan lahir dan merupakan bagian dari hukum identitas.
Hukum identititas mengarahkan
hingga bisa mengenali keragaman, perubahan permanen, kesamaan, pemisahan dan
penampakan yang berbeda, guna mencakup keseluruhan semua itu, serta guna
mendapatkan penghubung antar fase-fase berbeda dari fenomena tertentu. Oleh
sebab itu, penemuan dan penggunaan hukum tersebut disimpulkan telah membuat
sejarah dalam pemikiran ilmiah dan, oleh karenanya, kita memberikan penghargaan
pada Aristoteles untuk semua yang telah dirumuskannya. Oleh karena itu pula,
manusia berbuat dan berpikir sesuai dengan hukum dasar logika fiormal tersebut.
Mungkin akan muncul pertanyaan:
“bagaimana hukum tersebut berlaku secara gampangannya? Jawabnya: fakta bahwa sesuatu adalah sesuatu.
Amat lah penting kehadiran hukum
dasar tersebut dalam sejarah. Merupakan sebuah kemajuan yang besar sekali dalam
sistim pengetahunan tentang dunia ketika manusia menemukan bahwa awan, uap,
hujan dan es semuanya berasal dari air. Atau bawah surga dan bumi adalah dua
hal yang bertentangan namun juga sama (surga di bumi). Ilmu Biologi mengalami
revolusi dengan penemuan bahwa kehidupan organisme bersel satu dan manusia
terdiri dari substansi yang sama. Ilmu fisika mengalami revolusi dengan bisa
ditunjukkannya bahwa semua bentuk gerak material dapat saling bertukar dan
secara esensial sama.
Tidak kah merupakan sebuah
langkah yang menakjubkan dalam pengetahuan sosial dan politik ketika kelas
pekerja menemukan pengetahuan, di satu sisi, bahwa upah kerja adalah upah kerja
dan, di sisi lain, kapitalis adalah kapitalis. Pengetahuan bahwa buruh di mana
saja memiliki kepentingan yang sama, menembus batas wilayah, nasional dan ras.
Sehingga pengakuan terhadap kebenaran yang berasal dari hukum identitas adalah
sebuah syarat untuk menjadi seorang sosialis yang revolusioner.
Satu hal, bagaimanapun kita
memperhatikan dan menggunakan suatu hukum, adalah merupakan hal yang berbeda
dengan mengerti dan memformulasikannya dalam sebuah cara yang ilmiah. Semua
orang dapat bertindak sesuai dengan hukum namun sulit untuk mengetahui
bagaimana hukum tersebut beroperasi. Sama dengan hukum logika itu sendiri.
Setiap orang berpikir tapi tak seorang pun tahu hukum yang mana yang sedang
berlangsung dalam pemikirannya.
Hukum kontradiksi merumuskan
fakta-fakta material yang hadir secara bersamaan dengan yang lainnya, dan bisa
dalam keadaan-keadaan yang berbeda-beda. Secara nyata aku tidak sama dengan
anda—jelas kita berbeda. Atau aku hari ini berbeda dangan aku kemarin—jelas
keberadaanku berbeda. Atau Uni Soviet berbeda dengan negeri lainnya, dan
perkembangan Uni Soviet membedakan Uni Sovyet dahulu dengan Uni Sovyet
sekarang—jelas perbedaan-perbedaannya.
Hukum formal kontradiksi,
atau penajaman perbedaan-perbedaan adalah
penting untuk memperoleh kelasifikasi yang tepat sesuai dengan hukum identitas.
Tanpa keberadaan perbedaan-perbedaan tersebut, tak perlu ada kelasifikasi,
tanpa identitas maka tak mungkin melakukan kelasifikasi.
Hukum tak ada jalan tengah
(excluded middle) menunjukkan bahwa semua hal saling bertentangan dan saling
mengisi dalam kenyataannya. Aku pasti lah aku atau orang lain; hari ini aku
seharusnya sama atau berbeda dengan kemarin; Uni Soviet seharusnya sama atau
berbeda dengan negeri lain; aku pasti lah manusia atau binatang; aku tidak
dapat secara bersamaan merupakan dua identitas yang berbeda.
Oleh karenanya, hukum logika
formal mengekspresikan masa depan yang merepresentasikan dunia nyata.
Hukum-hukum tersebut berisi suatu materi dan
suatu dasar objektif. Hukum-hukum tersebut secara bersamaan merupakan
hukum berfikir, hukum masyarakat dan hukum alam. Ketiga akar Hukum tersebut
memiliki karakter universal.
Ketiga hukum yang kita pelajari
di atas bukan merupakan keseluruhan logika formal. Namun merupakan hukum-hukum
dasar yang sederhana. Di atas dasar itu lah,
dan di luar darinya lah, muncul sejumlah struktur ilmu logika yang
kompleks, yang memiliki kerumitan rincian-rincian setiap elemennya, dan yang di
dalamnya memiliki bentuk mekanisme berpikir. Tapi kita tak akan masuk ke
diskusi tentang berbagai kategori, bentuk proposisi, sikap-sikap, silogisme dan
yang lainnya, yang membentuk isi tubuh logika formal. Hal tersebut bisa dicari
di buku tentang logika elementer lainnya. Secara prinsipil kita lebih peduli
pada pemahaman ide-ide esensial logika formal, tapi bukan pada detail
perkembangannya.
5. Logika Formal dan Akal Sehat
Dalam lingkaran intelektual
borjuis, akal sehat dijadikan satu pola dan cara berfikir serta menjadi
penuntun tindakan. Hanya ilmu-pengetahuan yang dilandasi akal sehat lah yang
bisa berada pada hirarki nilai yang tinggi. Atas nama akal sehat dan
ilmu-pengetahuan, misalnya, Max Eastman menuduh Marxis sebagai penjunjung
dialektika metafisik dan mistik. Sialnya, ideolog-ideolog borjuis dan borjuis
kecil jarang menginformasikan pada kita apa sisi logis akal sehat mereka dan
bagaimana hubungan antara akal sehat dengan ilmu-pengetahuan? Kita akan
menjawab mereka! Kenyataannya, mereka yang anti dialektika sebenarnya tidak
hanya tidak tahu apa dialektika itu. Mereka bahkan tak tahu apa logika formal
itu. Hal itu tidak mengejutkan. Apa kah kelas kapitalis tahu apa itu
kapitalisme, bagaimana hukum-hukumnya beroperasi? Jika mereka tahu, mereka akan
sadar akan krisis dan perang yang mereka buat, dan tak akan seyakin sekarang
dengan sistim yang mereka nikmati itu. Stalinis tak tahu apa sebetulnya
stalinisme itu dan akan ke mana arah sistim tersebut. Jika mereka tahu mereka
tidak akan lagi menjadi Stalinis, atau mereka akan menjadi sesuatu yang lain.
Sejauh ini, akal sehat masih
secara sistimatis tersusun dan memiliki karakter logis, serta akal sehat
menyatu dengan logika formal. Akal sehat bisa diurai menjadi bentuk yang tidak
sistimatis dan setengah sadar dalam hubungannya dengan ilmu-pengetahuan logika
formal. Ide-ide dan metode logika formal yang digunakan sekarang, sebenarnya,
telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu, memiliki saling hubungan dengan
proses berfikir kita, masuk dalam pabrik peradaban kita, dan nampak bagi
kebanyakan orang sebagai sesuatu yang
normal, ekslusif, serta bercorak pikir wajar. Konsepsi dan mekanisme logika
formal, seperti silogisme, merupakan alat berfikir yang seakrab dan seuniversal
layaknya pisau tajam.
Seperti kita ketahui, borjuis
percaya bahwa masyarakat kapitalis akan abadi karena, menurut mereka, merupakan
hal yang ilmiah dan tak dapat diubah. Sosialisme, kata mereka, adalah tidak
mungkin dan tidak masuk akal sehat karena manusia akan selalu terbagi ke dalam
dua kelas yang saling bertentangan. yakni yang kaya dan yang miskin, yang kuat
dan yang lemah, pemerintah dan yang diperintah, yang bermilik dan yang tak
bermilik, dan setiap kelas akan berjuang sampai mati demi hidup yang lebih
baik. Sebuah bentuk organisasi sosial yang tanpa kelas, yang terencana sehingga
tidak anarki, yang melindungi si lemah melawan si kuat, terlihat absur, tak
masuk akal, bagi mereka. Mereka melihat ide sosialis sebagai fantasi,
harapan-harapan kosong.
Sampai kita tahu sosialisme bukan
lah sebuah mimpi tapi sebuah keniscayaan sejarah. Sebagai sebuah tahapan
evolusi sosial selanjutnya. Kita tahu kapitalisme tidak lah abadi tapi suatu
bentuk sejarah tertentu cerminan produksi material, yang terbentuk karena
perkembangan produksi sosial, dan takdirnya: akan digantikan oleh bentuk yang
lebih superior, produksi sosialis.
Mari kita lihat ilmu berpikir
dari satu titik yang sama, yakni dengan melihat pada ilmu sosial.
Pemikir-pemikir Borjuis dan borjuis kecil percaya bahwa pemikiran formal adalah
bentuk akhir yang sudah final dan pas. Mereka menolak dilalektika materialis
sebagai bentuk tertinggi pemikiran.
Kau ingat, ketika seseorang
bertanya tentang kapitalisme permanen atau berargumentasi tentang pentingnya
sosialisme, kau akan jatuh dalam keraguan pada ide-ide revolusioner yang baru.
Kenapa? Karena dirimu telah diperbudak oleh ide penguasa zaman kita yang,
seperti di katakan Marx, sebagai ide-ide kelas penguasa. Ide-ide kelas penguasa
dalam ilmu logika sekarang ini adalah ide-ide logika formal yang lebih rendah,
lebih hina, dari akal sehat. Semua bagian dan kritik dialektika sebenarnya
berdiri di atas landasan logika formal—terserah mereka mau mengakuinya atau
tidak.
Tak diragukan lagi, dalam
masyarakat kita, ide-ide logika formal berisikan semua praduga teoritis yang
paling kepala batu. Meski telah beberapa orang menanggalkan keyakinannya
terhadap kapitalisme, dan telah menjadi sosialis yang revolusioner, bisa saja
mereka belum secara keseluruhan bisa melepas kebiasaan logika formal mereka
yang diperoleh dari kehidupan borjuis sebelumnya. Kesungguhan seorang akhli
dialektika bisa mengalami kemunduran jika mereka tak berhati-hati dan sadar
dalam cara berfikirnya.
Marxisme, selain menolak
keabadian kapitalisme, ia juga menolak keabadian kelas kapitalis. Pemikiran
manusia telah berubah dan berkembang sepanjang perkembangan umat manusia. Hukum
berpikir tidak lah lebih abadi daripada hukum yang ada di masyarakat. Sama
halnya dengan kapitalisme, yang hanya sekadar sebuah mata-rantai bentuk sejarah
produksi sosial, demikian halnya dengan logika formal, yang hanya sekadar sebuah mata-rantai bentuk
sejarah produksi intelektual. Seperti halnya kekuatan sosialisme, yang sedang
berjuang untuk menggantikan bentuk produksi sosial kapitalisme dengan sebuah
sistem yang lebih berkembang dan maju, demikian pula halnya pembela dialektika
materialis, sebagai sebuah logika sosialisme ilmiah, sedang berjuang melawan
logika formal yang telah ketinggalan zaman. Perjuangan teoritis dan praktek
politik praktis merupakan bagian yang integral satu dengan yang lainnya, dan
sama-sama berada dalam proses revolusioner.
Sebelum kemunculan astronomi
modern, orang-orang percaya bahwa matahari dan planet lainnya mengitari bumi.
Mereka secara tidak kritis percaya pada pembuktian akal sehat yang ditangkap
oleh mata. Aristoteles mengajarkan bahwa bumi telah pas dan sempurna. Tahun ini
adalah peringatan 400 tahun penerbitan
buku Copernicus. Sebuah revolusi pemikiran tentang tata surya, yang
menumbangkan pemikiran bahwa bumi adalah pusat kekuasaan.
Seabad kemudian Galileo
membuktikan kebenaran teori Copernicus. Semua profesor yang bertentangan dengan
Copernicus mencemohkannya, seperti yang dikeluhkan Galileo: ”Aku berharap bisa
menunjukkan bahwa planet Yupiter, yang menjadi satelit bagi para profesor di
Florence, bisa mereka lihat lewat mata mereka sendiri atau dengan teleskop.”
Para profesor tersebut, atas nama teori Aristoteles, menyerukan perlawanan
terhadap usaha Galileo tersebut, dan akhirnya menggunakan kekuasaan untuk
memenjarakan Galileo. Pelayan-pelayan negara dan gereja tersebut berhasil
menekan argumen Galileo, melarang pengedaran bukunya, menteror dan bahkan
membunuh lawan-lawan ilmuwan lainnya karena ide-ide mereka sangat revolusioner.
Mereka membudak pada dominasi kelas penguasa.
Sama halnya dengan dialektika,
khususnya dialaektik materialis, ide dan metode nya bahkan lebih revolusioner
ketimbang ide Copernicus tentang Astronomi. Pertama pemutarbalikan sorga yang
selama ini diagungkan oleh abad tengah, kemudian penajaman terhadap kelas
progresif dalam masyarakat yang akan memutarbalikan masyarakat kapitalis. Itu
lah sebabnya ide-ide dialektika materialis sangat ditentang oleh para pembela
logika formal dan akal sehat. Besok, dengan revolusi sosialis, dialektika akan
menjadi akal sehat dan logika formal akan mengambil posisi sub-ordiansi, hanya
dianggap sebagai penolong dalam cara berfikir ketimbang seperti yang berlaku
sekarang ini—mendominasi pemikiran, menyesatkan fikiran dan menghambat semua
kemajuan berfikir yang menjadi tuntutan zaman.
Bahan II: Keterbatasan Logika
Formal
Pada bahan pelajaran pertama kita
telah menjawab tiga pertanyaan.
1. Apa itu logika? Kita mendifininisikan logika
sebagai sebuah ilmu proses berpikir dalam hubungannya dengan semua proses yang
lain di dunia ini. Kita telah belajar mengetahui dua sistim penting dalam
logika: logika formal dan logika dialektik.
2. Apa itu logika formal? Kita telah belajar
memahami bahwa logika formal adalah cara berpikir yang didominasi oleh hukum
identitas, hukum kontradiksi dan kukum tak ada jalan tengah (excluded middle).
Kita telah paham bahwa ketiga hukum fundamental logika formal tersebut memiliki
isi materi dan basis objektif; yang
dirumuskan secara eksplisit berdasarkan logika instinktif yang ada pada akal
sehat; yang bersisikan aturan-aturan berfikir dalam kehidupan borjuis.
3. Apa hubungan antara logika formal dan logika
dialektik? kedua sistim berfikir
tersebut tumbuh dan berhubungan di dua
tahap yang berbeda dalam perkembangan ilmu-pengetahuan berfikir. Logika formal
berkembang secara dialektik dalam evolusi sejarah logika, seperti yang biasa
terjadi dalam perkembangan intelektual seseorang. Kemudian logika dialektik
muncul sebagai kritik terhadap logika formal, menjatuhkan dan menggantikannya.
Logika dialektik menjadi lawan yang revolusioner, mengambil alih dan menjadi
solusi.
Dalam pelajaran kedua ini, kita
berharap bisa mengungkap keterbatasan logika formal, dan mendapatkan bagaimana
dialektika bangkit karena ujian kritis terhadap ide-ide fundamentalnya. Saat
ini kita telah memahami apa yang menjadi dasar logika formal, dan apa yang
dicerminkannya dari realita, mengapa
menjadi penting dan bermanfaat bagi proses berfikir, dan sekarang kita akan
melangkah lebih jauh lagi untuk melihat apa yang menjadi distorsi dalam logika
formal serta apa yang harus ditolak dari logika formal. Kita akan melihat sisi
yang tak bermanfaat dari logika formal.
Dalam langkah selanjutnya dari
investigasi kita, kita tak akan mendapatkan hasil negatif yang bisa dijadikan
alasan keraguan kita sehingga harus menolak seluruh bagian dari logika formal.
Sebaliknya, justru kita akan mendapatkan hasil yang paling positif. Walaupun
terdapat beberapa kekurangan dalam logika formal, namun terdapat juga beberapa
karakter penting yang bisa diambil dari logika formal yang bisa menyempurnakan
logika penggantinya, logika dialektik. Sehingga dalam proses pembelahan logika
elementer dan pemisahan unsur yang absyah dari yang salah, kita bisa
mendapatkan sebuah landasan bagi dialektika. Tindakan kritis dan kreatif, negasi
dan affirmasi, saling bergandengan sebagai dua sisi dari proses yang sama.
Kedua gerak penghancuran dan
pembentukan dilahirkan tidak saja dalam evolusi logika tapi juga dalam semua
proses. Setiap lompatan ke depan, setiap tindakan kreatif melibatkan
penghancuran. Agar dapat lahir, seekor anak ayam harus memecahkan kulit telor
yang membungkusnya, yang telah menjadi tempat tinggal dan sumber kehidupan pada
tahap tertentu. Sehingga, agar mendapatkan ruang bagi kebebasannya dan
melanjutkan perkembangan selanjutnya, ilmu berpikir harus menghancurkan kulit
pembungkus logika formal.
Logika formal selalu mulai dengan
preposisi: A adalah selalu sama dengan A. Kita mengakui bahwa hukum tentang
identitas ini mengadung beberapa kebenaran, yang merupakan sebuah fungsi yang tidak bisa dipisahkan dalam pengetahuan
berfikir, dan yang selanjutnya digunakan dalam peradaban mansuia di dalam
kegiatan sehari-harinya. Tapi sejauh mana kebenaran hukum tersebut? Apakah
hukum tersebut bisa terus menjadi penuntun dalam realitas yang menjadi lebih
kompleks? Demikian lah, pertanyaan selanjutnya.
Pembuktian salah benarnya setiap
preposisi diperoleh dengan melihat realitas objektif dan praktek nyatanya,
derajatnya dan isi konkrit yang
terkandung dalam preposisi tersebut. Apa kah isinya berhubungan dengan sebuah
output yang bisa dihasilkan oleh realitas, sehingga preposisi itu menjadi
benar. Jika tidak, maka preposisi tersebut tidak bisa dibenarkan.
Sekarang apa yang bisa kita dapat
saat harus berhadapan dengan realitas, bukti apa yang bisa membenarkan
kebenaran preposisi: A sama denan A? Ternyata, tak ada sesuatu pun dalam
realita yang secara sempurna sama dengan isi preposisi tersebut. Sebaliknya,
kebalikan dari aksioma tersebut jauh lebih mendekati pada kebenaran.
Bagaimanapun kita berusaha
membuktikan bahwa A sama daengan A—ternyata, kita tidak bisa berhasil secara
sempurna. Seperti kata Trotsky:
“...meneliti dua huruf tersebut di bawah sebuah lensa pembesar—satu dengan yang
lainnya sama sekali berbeda. Namun, orang bisa saja berkeberatan, karena
hal-hal lain (misalnya) semata-mata merupakan simbol bagi kuantitas-kuantitas
yang sederajat, contohnya, satu pon gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk
dari huruf-huruf tersebut.”
“Di samping kecurigaan ekstrim
pada nilai praktis. Hal tersebut juga menunjukan ketidakkritisan teoritis.
Bagaimana dengan momentum? Hal yang pertama tentu berbeda momentumnya dengan
hal yang kedua karena segalanya ada dalam kurun waktu tertentu. Waktu adalah
sebuah unsur yang paling fundamental bagi keberadaan. Sehingga aksioma A sama dengan A akan berlaku
jika tidak ada perubahan, jika tidak, maka aksioma tersebut tidak akan
berlaku”[2]
Itu lah sebabnya beberapa pembela
logika formal mencoba membela diri dengan berkata: memang benar hukum identitas
tidak bisa absolut, tapi itu tidak berarti kita dapat menolak prinsip tersebut.
Kebenaran tersebut adalah absyah walaupun tidak berhubungan dengan realitas.
Posisi mereka tidak bisa memahami
kontradiksi; justru, dengan demikian, semakin menunjukkan bahwa, dalam
pandangan mereka, hukum identitas tersebut hanya berlaku sejauh tidak
berhubungan dengan realitas, dan jika berhubungan dengan realitas maka hukum
tersebut justru akan mendatangkan kesalahan-kesalahan tertentu.
Seperti yang di kemukakan oleh
Trotsky: “Aksioma A sama dengan A menunjukkan
suatu titik keberangkatan menuju ke keseluruhan kebenaran pengetahuan
kita namun, di sisi yang lain, juga merupakan titik keberangkatan menuju ke
keseluruhan kesalahan pengetahuan kita.”[3] Bagaimana mungkin sesuatu hal, yang
ada dalam hukum yang sama, menjadi sumber bagi kedua pengetahuan—pengetahuan
yang salah dan pengetahuan yang benar? Kontradiksi tersebut dapat dijelaskan
oleh fakta bahwa hukum identitas memiliki dua sisi karakter: kesalahan dan
kebenaran. Hukum identitas memiliki kebenaran pada batas-batas tertentu.
Batasan tersebut dikarenakan karakter esensialnya, yang ditunjukkan oleh
perkembangan aktual obyek pertanyaannya. Di sisi lain, dilihat dari tujuan
praktis cara pandang tertentu.
Sekali waktu, batasan-batasan
tersebut muncul, sehingga hukum identitas tidak lagi tepat dan berbelok menjadi
kesalahan. Semakin jauh kita maju tanpa pegangan batasan tersebut, semakin jauh
pula hukum identitas tersebut menyeret kita membelok dari kebenaran. Hukum yang
lain mungkin akan mengoreksi kesalahan yang semakin banyak tersebut, namun
tidak terlepas juga kemungkinannya akan masuk ke persoalan yang lebih kompleks
dan yang lebih baru lagi.
Mari kita lihat contohnya. Dari
Albany ke New York hanya disusuri oleh sungai Hudson, tak ada yang lainnya. A
selalu sama dengan A. Dengan keterbatasan tersebut akan sulit untuk memastikan
bahwa sungai Hudson tersebut merupakan satu-satunya sumber air yang ada, dan
sama dari hilir sampai muara, sungai Hudson. Setelah sampai di muara pelabuhan
New York, ternyata sungai Hudson telah kehilangan identitasnya dan menyatu
dengan Samudra Atlantik. Sedangkan air Sungai Hudson, terpecah menjadi beberapa anak-anak sungai yang lain
yang, walaupun berasal dari mata air yang sama, tapi memiliki identitas yang
berbeda-beda dan materi yang berbeda pula, jauh berbeda dengan sungai Hudson
itu sendiri. Sehingga di kedua tempat
tersebut—sumber mata air dan muaranya—identitas Sungai Hudson menghilang, tak
lagi seutuhnya sama.
Demikian pula halnya dengan kemungkinan
hilangnya identitas di sepanjang sungai Hudson tersebut. Identitas sungai
tersebut tergantung pada kedua sisi parit yang menahan aliran airnya. Namun,
jika sungai tersebut pasang atau surut, atau jika terjadi erosi, maka parit
tersebut akan berubah. Hujan dan banjir akan merubah batasan-batasan sepanjang
sungai itu secara permanen atau sementara. Walaupun sungai tersebut tetap
bernama Hudson, namun isinya tak akan pernah berupa air yang sama. Setiap
tetesnya sudah berbeda. Oleh karenanya, sungai Hudson tersebut terus berubah
identitasnya setiap saat.
Atau coba kita lihat contoh Dolar
yang di kemukakan Trotsky. Kita biasanya mengasumsikan bahwa mata uang Dolar
adalah mata uang Dolar itu sendiri. A sama dengan A. Tapi kita mulai sadar
sekarang bahwa Dolar sekarang berbeda nilainya dengan dolar pada waktu yang
lampau. Dolar tersebut semakin berkurang nilainya. Pada tahun 1942 kemampuan
dolar hanya tiga perempat kemampuan pada tahun 1929.
Sepertinya, dolar tidak berubah
dan hukum identitas masih bisa di gunakan, tapi, pada saat yang sama, nilainya
juga sudah berubah.
“Pemikiran ilmiah kita hanya lah
salah satu bagian dari keseluruhan tindakan praktek kita, termasuk
teknik-teknik. Dalam konsep-kopsep, eksistensi “toleransi” juga diperkenankan.
Toleransi tersebut ditegakkan bukan dengan logika formal yang berasal dari
aksioma A adalah sama dengan A, tapi dengan logika dialektik yang berasal dari
aksioma bahwa semua hal selalu berubah. “Akal sehat” dikarakterisasi oleh
kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui “toleransi” dialektik.”[4]
Dalam bengkel kerja, toleransi
diukur di setiap seperseratus sampai seperseribu setiap incinya, tergantung
hasil kerja yang hendak diperolehnya. Sama halnya dengan kerja otak dan
konsep-konsep peralatannya. Bila batas atau marjin toleransi kesalahan sudah
bisa disetujui, maka hukum logika formal dapat berlaku. Tapi pada saat tidak
diizinkan oleh toleransi, maka sebuah alat baru harus dibuat untuk memenuhi
batas toleransi yang diperbolehkan. Dalam lapangan produksi intelektual,
peralatan tersebut adalah logika
dialektik.
Hukum identitas bisa diterapkan
dalam toleransi dialektik pada dua arah yang bertentangan. Misalnya, toleransi minimum dan toleransi
maximum, sehingga hukum identitas tersebut akan berlangsung semakin absyah atau
kurang absyah seperti yang dicontohkan oleh deflasi. Satu Dolar nilainya
berlipat, sehingga A tidak sama dengan A, tapi lebih besar dari A. Dan dalam
contoh inflasi maka, sekali lagi, satu Dolar tidak sama dengan satu Dolar
sebelumnya, menjadi setengahnya. Sekali
lagi A tidak sama dengn A, tapi setengah A. Dalam beberapa kasus, hukum
identitas tidak lagi menjadi benar tapi
menjadi semakin salah, tergantung pada jumlah dan karakter khusus perubahan
nilai yang ada. Selain A = A, kita juga melihat kemungkinan A = 2A atau 1/2A.
Perhatikan bahwa kita mulai
menguji hukum identitas: A adalah yang kita uji. Yang kita dapatkan,
kontradiksi: benar bahwa A = A; tapi benar juga A tidak sama dengan A dan,
tambahannya, A bisa menjadi 2A atau 1/2A.
Cara tersebut membuat kita lebih
mengenal A. A ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan, pasti, tidak
berubah seperti yang dianut oleh akhli logika formal. Mereka hanya melihat
penampakannya saja. Dalam kenyataanya, A sangat kompleks dan bisa kontradiktif.
Tidak hanya A tapi menyangkut semua hal. Kita tidak bisa menangkap A yang sama
karena setiap saat A tersebut berubah menjadi berkurang atau bertambah.
Kau mungkin bertanya: kalau
begitu, sebenarnya apa itu A? Jawaban dialektiknya adalah A adalah A atau
Non-A. Jika kau melihat A seperti akhli logika formal maka kau hanya akan
melihat satu sisinya saja, sisi negatifnya. A sama dengan A adalah sebuah
abstraksi yang tidak dapat secara penuh menjadi kenyataan atau ditemukan dalam
realitas. Abstraksi tersebut berguna sepanjang kau mengerti batasan-batasannya,
dan jika batasan telah tercapai maka segera kita akan mengabaikan logika formal
tersebut untuk mendapatkan kebenaran final. Hukum dasar identitas bisa dipegang
sebagai cara pandang dan untuk bertindak sehari-hari, tapi hukum itu harus
digantikan dengan hukum yang lebih dalam dan kompleks.
Para akhli mekanik akan bertanya:
mengapa harus ada batas, apakah peralatan yang dimiliki dalam mekanika telah
mencakup kebenaran? Segala hal berlaku
dalam kondisi tertentu dan dalam operasi tertentu: sebuah potongan, lengkungan,
pendalaman dan lain sebagainya, semuanya ditempatkan pada setiap tahapan proses
produksi industri. Kelas buruh menentang batasan-batasan yang nyata dalam
setiap peralatan dan mesin. Mereka berhasil mengatasi batasan-batasan tersebut
dengan dua cara: menggunakan peralatan yang lain atau mengkombinasikan beberapa
peralatan dalam proses produksi.
Berpikir secara esensial
merupakan produksi intelektual, dan keterbatasan peralatan berpikir akan
menghasilkan cara yang sama. Pada saat kita mentok dengan logika formal maka
kita harus menggunakan logika lainnya, yakni logika dialektik, atau
mengkombinasikan logika formal dengan logika dialektik untuk mendapatkan
kebenaran. Itu lah yang disebut dialektika. Sama seperti peralatan-peralatan di
pabrik yang harus dikombinasikan agar bisa mengoperasikan pabrik tersebut.
Jadi, kalau kita menginginkan hasil yang paling tepat dalam produkis
intelektual kita, maka kita harus mengembangkan ide-ide dialektika itu sendiri.
Jika kita kembali pada abstraksi
awal, A sama dengan A, maka kita melihat bahwa ada sebuah kontradiksi dalam
perkembangannya. A adalah berbeda dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, A
selalu berubah dan perubahan tersebut ke segala arah. A selalu berkembang
menjadi berlebih atau berkurang dari A sebelumnya.
Perubahan tersebut memiliki nilai
kwalitas tertentu, yang berbeda dari yang sebelumnya, sehingga perlu juga
membandingkan kwalitas awal dan kwalitas yang berikutnya dari sesuatu hal yang
terus berubah.
Sungai Hudson yang kehilangan
identitasnya, menjadi bagian dari samudara atlantik; atau seperti yang terjadi
pada mata uang. Mata uang yang semula koin yang bernama mark Jerman telah
menjadi kertas cetakan. Dalam bahasa aljabar, A menjadi Minus A. Dalam bahasa dialektikanya perubahan
kwantatif menghancurkan kwantitas yang lama sehingga menjadi kwalitas yang
baru. “Menentukan titik kritis pada saat yang tepat, saat kwantitas berubah
menjadi kwalitas, adalah merupakan suatu tugas yang paling penting serta paling
susah di dalam semua bidang pengetahuan, termasuk sosiologi.”
Salah satu dari problem sentral ilmu
logika adalah mengetahui dan memformulasikan hukum tersebut. Kita harus
mengerti bagaimana perubahan kwantitas akan mendatangkan kwalitas baru dan
sebaliknya.
Kita tiba pada satu kesimpulan.
Pada saat hukum identitas secara tepat mencerminkan bentuk tertentu realitas,
hukum itu juga mendatangkan distorsi kesalahan dalam mencerminkan hal yang
lainnya. Lebih jauh lagi, aspek yang salah tidak bisa mencerminkan kenyataan
objektif yang ada. Campuran setiap partikel fakta jeneralisasi logika yang
mendasar bisa memiliki sisi kesalahan yang serius. Hasilnya, instrumen kebenaran menjadi kesalahan umum.
Bahan III: Sekali Lagi, Tentang
Keterbatasan-Keterbatasan Logika Formal
Dari kedua bahan pertama yang
kita pelajari, kita mendapat hukum-hukum dasar logika formal; bagaimana dan
mengapa mereka hadir; hubungan apa yang dimiliki dialektika terhadapnya; dan
batas-batas apa yang kemudian menjadikan logika formal tak berguna lagi.
Kita akan melihat 5 kesalahan
mendasar dalam elemen-elemen hukum identitas:
1. Tuntutan Logika Formal:
Semesta Tidak Berubah
Pertama sekali, logika formal
menolak suatu gerak, perubahan dan perkembangan dalam realitas. Penolakan
tersebut tidak secara eksplisit ditujukan pada keberadaan realitas. Tapi,
secara tak langsung, yakni, hukum-hukumnya menolak implikasi penting logika
internalnya.
Seperti yang dikemukan oleh hukum
identitas, jika setiap hal sama dengan dirinya maka, seperi yang ditunjukkan
oleh hukum kontradiksi, tak ada yang tidak sama dengan dirinya, semuanya sama.
Tapi ketidaksamaannya merupakan manifestasi dari perbedaan—dan, sebenarnya,
perbedaan mengindikasikan operasional perubahan. Jika semua perbedaan ditolak
maka tidak akan ada gerak dan perubahan itu sendiri, oleh karenanya tidak ada
alasan menjadi berbeda.
Jika logika formal ingin
mendapatkan sisa kebenaran dirinya, bukan lah dengan menolak keberadaan nyata
dan rasionalitas gerak. Tak ada tempat
bagi perubahan di dunia ini yang bisa diterima oleh atau digambarkan oleh
logika formal. Tak ada gerak dalam dirinya. Tak ada ledakan logis dalam
hukum-hukumnya yang dapat melewati dan masuk ke dunia nyata. Tak ada dinamika
dari dunia luar yang mendorong segala hal keluar dari kondisinya yang sekarang
guna menghasilkan formasi baru. Gerak digambarkan atau ditunjukkan sebagai
realisme statistik, yang segalanya membeku di tempatnya masing-masing.
Mengapa formalisme tersebut
memunggungi realitas? Karena gerak memiliki karakter kontradiksinya sendiri.
Seperti kata Engels: ”…bahkan perubahan mekanis sederhana suatu tempat bisa
berlangsung dalam sebuah tubuh dan, pada saat yang bersamaan, keduanya bisa
berada di sebuah tempat lainnya, berada di suatu tempat atau tidak berada di
suatu tempat lainnya pada saat yang bersaman.”[5] Segala yang bergerak memiliki
kontradiksi dalam keberadaanya, di suatu tempat yang berbeda pada saat yang
bersamaan, dan bisa menundukkan atau keluar dari kontradiksi tersebut dengan
menerjang satu tempat guna menuju ke tempat lainnya.
Perkembangan dan bentuk kompleks
gerak, seperti perkembangan pohon dan tumbuhan, perkembangan spesies,
perkembangan masyarakat dalam sejarah dan perkembangan sejarah filsafat, hadir
bahkan lebih sulit bagi logika formal. Tahap sekarang, yang menggantikan setiap
proses adalah serial kontradiksi. Pada pertumbuhan tanaman, contohnya, tunas
keberadaannya diganti oleh bunga dan kemudian oleh buah.
Dimana pun mereka
dikonfrontasikan dengan kontradiksi nyata, penganut logika formal selalu akan
gagal. Apa yang akan mereka lakukan? Anak kecil sewaktu berhadapan dengan
sesuatu yang asing, sesuatu yang menakutkan mereka, yang mereka tak mengerti
dan tak dapat mereka kuasai, akan menutup mata mereka dan menutup mukanya
dengan kedua tangannya, serta akhirnya melarikan diri dari ketakutan tersebut.
Penganut formalis bereaksi dan terus bereaksi, sama seperti anak-anak
berhadapan dengan kontradiksi. Ketika mereka tidak bisa secara komprehensif
melihat kenyataan alamiahnya dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dengan semua hal
yang mengerikan—itu lah yang menyedihkan dari dunia logika formal—maka, dengan
ledakan kontradiksi, segera mereka akan menghancurkan logika formal mereka.
Dimana pun, saat otoritas
reaksioner diancam oleh kekuatan subversif, mereka akan menekan, memenjara dan
membuang kekuatan subversif tersebut. Penganut logika formal menjawab
kontradiksi dengan cara yang demikian. Seperti yang dilakukan oleh Sir Anthony
Absolute terhadap anaknya dalam lakon komedi
Sheridan: “…Jangan masuk dalam ruanganku, jangan berani menghirup udara dan
menggunakan lampu bersamaku, tapi carilah atmosfir dan matahari lain untuk
dirimu! ...”
Hukum tersebut menunjukkan bahwa
A tidak pernah menjadi Non-A. Itu bukan sebuah ekspresi nyata dari kontradiksi
yang nyata, atau, terbaca: A bukan Minus A atau bukan Non-A.
Logika formal tidak dapat
mentoleransi kontradiksi aktual dalam sistimnya sendiri. Logika formal akan
menekan dan menghancurkan kontradiksi tersebut. Dalam usahanya untuk
membebaskan dirinya dari kontradiksi, penganut logika formal memperketat
kontradiksi absolut di atas kenyataan objektif. Dalam dunia yang
direpresentasikan oleh logika formal, segala sesuatu berdiri dalam oposisi absolut terhadap yang
lainnya. A adalah A; B adalah B; C adalah C, namun, sebenarnya, secara logis,
mereka tidak ada yang sama
Kontradiksi dieliminasi dari
sistim logika formal, kemudian bergerak
naik menghindari semua kenyataan. Penganut logika formal menolak kontradiksi
dalam sistimnya sendiri hanya demi merestorasinya, mengambil kekuasaan dari
luar sistim mereka.
Kontradiksi nyata harus
memasukkan kedua hal: kesamaan dan perbedaan di dalam dirinya. Penganut logika
formal tak bisa melakukannya. Semua hukum logika formal sebenarnya tidak lain
merupakan kesamaan-kesamaan dalam berbagai versi. Merka tak mengenal apa
perbedaan-perbedaan.
Itu lah sebabnya hukum kategori
yang pas bagi logika formal tidak dapat menjelaskan esensi gerak. Gerak adalah
sangat lengkap, terang-terangan, bahkan kontradiksinya kasar. Dalam dirinya, ia
memiliki dua sisi perbedaan waktu, unsur, fase dan lain sebagainya secara
diametris. Pada saat yang bersamaan, benda yang bergerak adalah keduanya,
disini dan disana, secara terus menerus. Jika tidak, dia tidak bergerak tapi
diam. A tidak semata-mata Non-A. Diam adalah gerak yang berhenti; gerak adalah
perhentian yang berurutan.
Logika formal tidak bisa
mengetahui atau menganalisa kontradiksi alam nyata—yang di dalamnya terdapat
gerak—tanpa melanggar dirinya sendiri, tanpa menjatuhkan hukum-hukumnya
sendiri, tanpa menerjang dan masuk ke
alam yang lain. Adalah mimpi
mengharapakan logika formal menjadi dialektik. Itu tepatnya dengan apa yang
terjadi pada logika dalam evolusi. Tapi, logika formal, dalam dirinya dan oleh
dirinya, tidak dapat mengambil lompatan revolusioner, tidak bisa keluar dari
kulitnya. Semua pemikir formal yang konsisten tetap bertahan pada azas
jeneralitas identitas dan terus menolak—cukup logis menurut logika mereka, tapi
tak logis menurut kenyataan-keberadaan objektif yang nyata, yakni kenyataan
perbedaan diri atau kontradiksi.
Kategori identitas itu abstrak:
hukum logika formal merupakan ekspresi langsung dari konsepsi dan persamaan
logika ke-diam-an keberadaan objek. Oleh sebab itu, logika formal, secara
esensial, merupakan logika kematian, hubungan
yang dingin, sesuatu yang diam, pengulangan abadi dan kemandegan. Sejauh kita
mengganggap bahwa sesuatu itu statis dan mandeg, maka adalah benar bahwa kita
tidak bertentangan dengan kontradiksi. Kita mendapatkan kwalitas tertentu yang
sebagian merupakan hal yang bias, terpisah, bahkan saling kontradiktif, tapi,
dalam kasus ini (dalam sistim logika formal), kwalitas tersebar di antara objek
yang berbeda dan tanpa kontradiksi.[6]
Bila melihat apa yang terjadi
pada kasus lain, yang bergerak, ternyata tidak saja saling berhubungan, dan
tidak saja secara eksternal tapi juga secara internal, sesuatu akan kehilangan
identitas dan bergerak menuju sesuatu yang lain. Sungai Hudson mengalir dan
bergabung dengan samudra Atlantik; Mark jerman merosot menjadi secarik kertas
cetakan dan lainnya. Apa yang bisa
dilakukan oleh sesuatu hal dapat dilihat saat ia kehilangan identitas. Hasil
internal dan eksternal gerak benda-benda nyata terwujud secara kontradiktif.
Tapi tetap ada benarnya juga bahwa: mereka berhubungan dengan realitas.
Tidak ada yang permanen.
Kenyataan tidak pernah berhenti, selalu berubah, selalu fluktuatif (tidak
stabil/naik turun). Proses universal, yang tak terbantahkan, membentuk landasan
material bagi teori yang di ajarkan Engels ”…seluruh alam, dari unsur yang
paling kecil sampai yang paling besar, dari debu hingga matahari, keberadaannya
ada dalam keabadian, yakni menjadi dan melenyap, menghilang, kemudian bergolak
dalam gerak yang tak berhenti…”[7] Dalam ilmu modern, tak ada jeneralisasi yang
lebih aman selain berbasiskan pada percobaan, fakta, ketimbang memahami teori
perkembangan universal pikiran manusia, yang bergerak maju dalam abad ke-19.
Hukum logika formal, yang berada di luar
kontradiksi, mengabaikan kontradiksi dalam teori dan realitas perkembangan universal. Hukum identitas itu abstrak, tak melahirkan
perubahan. Sebenarnya, dari dua preposisi yang bertentangan tersebut, yang mana
yang benar dan yang salah? Itu lah pertanyaan dari penganut dialektika—yang
melandasi pikirannya berdasarkan proses alamiah—kepada penganut logika formal
yang berkepala batu. Persoalan pikiran ilmiah, yang sedang berhadapan
dengan logika formal, tidak semata-mata
merupakan persoalan yang terjadi dari akhir abad ini saja namun sejak zaman
sebelumnya.
2. Logika Formal Mendirikan
Benteng/Hambatan (di Antara Segala Hal) yang Tak Boleh Diterobos
Logika formal memiliki
kesalahan-kesalahan karena dikepung oleh persoalan-persoalan material,
ditelikung oleh ketidakmengertian terhadap fase perkembangan semua persoalan,
dan tak bisa mengerti mengenai cerminan, refleksi, kenyataan objektif dalam
jiwa kita. Antara kebenaran dan kesalahan tak ada fase antaranya, tak ada tahap
transisi dan rantai penghubungnya.
Hegel bicara tentang hal
tersebut: “Pikiran-Jiwa, mengabil posisi oposisi di antara kebenaran dan
kesalahan, serta menjadi pas, terlebih-lebih setelah diterima entah sebagai
perjanjian atau sebagai kontradiksi antara sistim filsafat. Dan hanya melihat
alasan pada sesuatu yang ada dalam pernyataan-pernyataan sistim tersebut. Hal
tersebut tidak lah menggambarkan perbedaan sistim filsafat sebagai evolusi
progresif kebenaran; tapi harus lebih
dilihat sebagai kontradiksi.”[8]
“Tunas menghilang setelah bunga
berkembang, dan dapat kita katakan: yang awal ditolak keberadaanya oleh yang
berikut; sama dengan setelah buah muncul, bunga bisa dijelaskan sebagai sesuatu
bentuk yang salah (dari keberadaan tumbuhan) bagi kemunculan buah, dilihat
sebagai kebenaran alamiah menggantikan bunga. Tahapan tersebut bukan berarti
sekadar pembedaan; yang satu merupakan pengganti, tak tepat lagi, bagi yang
lain. Aktivitas tanpa henti hakikat inherennya membuat mereka, pada saat yang
sama, dan dalam seluruh momentumnya, memiliki kesatuan organik, yang bukan saja
sekadar nmengkontradiksikan yang satu dengan dengan yang lainnya, namun yang
satu merupakan keniscayaan bagi yang lainnya; dan keniscayaan (setara) seluruh
momen tersebut lah yang menentukan kehidupannya secara keseluruhan. Tapi
kontradiksi antar sistim filsafat tidak bisa diselesaikan dengan cara seperti
itu; di lain pihak, pikiran-jiwa yang menerima kontradiksi tersebut bukan
berarti, secara akal sehat, ia memiliki pengetahuan bahwa kebenaran merupakan
hasil perbaikan dan pembebasan dari kesalahan bersatu-sisi, dan mengakui bahwa
semua itu merupakan hasil dari kehadiran momen-momen selayaknya (niscaya) yang
saling melengkapi atau berbalasan—walaupun kelihatannya saling bertentangan
dan, secara inheren, antagonostik.”
Jika kita menggunakan logika
formal sebagai nilai, maka kita harus
mengakui bahwa semua hal, atau segala keadaan sesuatu, adalah mutlak independen
dari segala hal atau dari segala keadaan. Dunia diperkirakan sebagai segala sesuatu
yang eksis dalam kesendiriannya yang sempurna, terpisah dari segala hal.
Posisi filsafat yang
menggambarkan logika tersebut mencapai hasil akhir berupa: filsafat
idealis-subjektif, yang muncul dengan membawa asumsi bahwa tidak ada yang
benar-benar eksis, kecuali dirinya sendiri. Itu bisa diketahui dari soligisme
(dalam kata latin) solus ipse (aku sendiri).
Itu lah cerminan posisi absur
dalam melihat sesuatu. Apapun teori yang dikemukakannya, ia hanya mengakui
keberadaan dirinya. Lebih jauh lagi, jika kita mau sedikit lebih mendalam, bagaimanapun
terisolasi dan independennya sesuatu hal, sebenarnya ia membutuhkan keberadaan
yang lain.
Untuk berada dan menjadi dirinya,
jika kita tidak menghubungkannya dengan sesuatu yang terkait dengan realitas,
maka kita tidak akan pernah bisa mengerti secara tepat dan pas.
Segala sesuatu akan melaju dan
mengubah dirinya menjadi sesuatu yang baru. Untuk mengerti hal tersebut, kita
harus menerobos batasan-batasan formal yang memisahkan satu dengan yang lainnya. Sejauh ini, kita tahu bahwa tak ada
benda yang diam.
“Preposisi fundamental dialektika
Marxisme: semua batasan dalam alam dan masyarakat adalah konvensional dan
bergerak, artinya: tak ada satu fenomena pun yang, ketika berada di bawah
kondisi-kondisi tertentu, tidak berubah menjadi bertentangan,” kata Lenin.[9]
Dalam skala sejarah yang lebih
luas, Trotsky berkata bahwa: ”kesadaran tumbuh dari ketidak sadaran, psikologi
dari luar psikologi, dunia organik dari non-organik, sistim tata surya dari
nebula.”[10]
Penghancuran batas-batas,
perjalan sesuatu menjadi yang lainnya, ketergantugan bersamanya, tidak terlepas
dari garis perkembangan sejarah itu sendiri; semuanya berjalan bersama kita.
Kita bertindak berbasiskan ide, dan ide tersebut kehilangan karakter mental
yang mendominasinya serta menjadi kekuatan aktif di dalam dunia lewat diri
kita. Marx menunjukkan bahwa sebuah sistim ide, seperti sosialisme, menjadi
sebuah kekuatan material ketika ia berada dalam pikiran massa kelas pekerja,
dan akan bergerak dalam aksi-aksi untuk merealisasikannya—perjuangan menuju
sosialisme.
Segalanya memiliki garis batas
demarkasi, yang membatasi segala sesuatu. Bila tidak, ia tak akan menjadi
sebuah tubuh yang memiliki identitas yang unik.
Kita harus menemukan batasan-batasan tersebut dalam praktek dan
menyusunnya dalam pikiran kita. Tapi batasan-batasan tersebut jangan
menjadi kaku dan menelikung segala
kondisi; batasan-batasan tersebut tak akan sama dalam setiap saat. Mereka
berfluktuasai menurut proses
perubahan. Batasan-batasan relatif,
gerak dan cair dikenal namun ditolak oleh logika formal. Hukum tersebut
menyimpulkan segalanya memiliki batasan-batasan tapi, yang lebih penting lagi,
bahwa batasan-batasan tersebut memiliki pembatas-pembatas bagi dirinya.
3. Logika Formal Menolak
Pembedaan Setiap Identitas
Kita telah melihat bahwa logika
formal menggambarkan pembatasan tajam antara kesamaan, atau identitas
(identity), dengan perbedaan (difference). Semuanya ditempatkan dalam
pertentangan yang mutlak satu dengan yang lainnya. Jika terdapat hubungan antara keduanya,
dianggap kebetulan dan eksternal serta tidak akan berdampak pada keberadaan internalnya.
Penganut logika formal melihat
semua itu sebagai sebuah kontradiksi logis, dan merupakan sebuah horor yang
mengerikan untuk mengatakan—seperti para penganut dialektika—bahwa identitas
bisa menjadi perbedaan, dan perbedaan bisa menjadi identitas. Mereka yakin
bahwa identitas adalah identitas dan perbedaan dalah perbedaan, dan tidak dapat
sama pada saat yang bersamaan. Coba kita bandingkan kesimpulan-kesimpulan tersebut dengan
fakta-fakta pengalaman yang diuji dari kebenaran semua hukum dan ide.
Dalam Dialectic of Nature, Engels
mengatakan: “Tumbuhan, binatang, dan setiap sel, setiap saat dalam hidupnya
adalah sama dengan dirinya dan menjadi berbeda dari dirinya, karena bergabung
dan mengalir dalam substansi hidup, karena respirasinya[11], karena pembentukan
sel dan karena kematian sel—lewat proses perputaran yang bergantian, dengan
singkatnya bisa disebutkan: karena ada perubahan molekul yang membuatnya hidup.
Dan karena kesimpulan dari setiap hasilnya merupakan bukti bagi mata kita bahwa mereka memiliki setiap fase
kehidupan: fase embrio, remaja, kematangn seksual, proses reproduksi, usia
lanjut dan kematian. Semua itu adalah bagian dari evolusi semua spesies di bumi.
Fisiologi lebih lanjut menggamblangkannya: yang lebih penting adalah ia tidak
berhenti, tidak selesai dan, yang lebih
penting lagi, adalah bahwa semuanya tetap berbeda di dalam identitasnya. Namun
pandangan abstrak-kuno indetitas formal memahaminya bahwa suatu organik berada
seperti sebuah identitas yang sederhana dalam dirinya, konstan dan
statis—menjadi ketinggalan jaman.
“Namun demikian, corak berpikir
itu berbasiskan seperti itu, bersama dengan kategorinya, terus menerus
bertahan. Tapi, bahkan dalam hakikat
non-organik pun, identitas seperti itu tak terdapat dalam realita. Setiap orang
terus menerus menunjukkan dan menerima pengaruh-pengaruh mekanik, fisika dan
kimia, yang selalu merubah dan memodifikasi identitasnya.”
Hambatan/benteng absolut tak
mungkin bisa didirikan oleh logika formal—misalnya dalam kasus antara dua hal
yang saling berpenetrasi dalam realitas yang berlanjut, bergerak—karena telah
dicuci oleh proses perkembangan sehingga kemudian perbedaan telah menjadi
kesamaan. Sebelum kami datang ke gedung ini, kami adalah orang-orang New York
yang berbeda-beda. Persamaan menjadi perbedaan: setelah pelajaran ini selesai,
kita akan berpisah ke tempat yang berbeda-beda. Perubahan dari perbedaan
menjadi persamaan dan persamaan menjadi perbedaan mengambil peran dalam semua
hubungan. Tunas yang mekar menjadi bunga, bunga menjadi buah, sehingga setiap
fasenya yang berbeda adalah menjadi bagian dari pohon yang sama.Tidak seperti
hukum logika formal, kesamaan material yang nyata tidak menyingkirkan dari
dirinya sendiri perbedaan-perbedaan yang ada tapi mengisi ke/di dalam dirinya
sebagai bagian yang esensial. Perbedaan nyata tidak membuang kesamaan tapi
memasukkannya sebagai elemen esensial di dalam dirinya. Kedua bentuk tersebut
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan membuat pembedaan dalam
pemikiran, tapi itu tidak berarti—seperti dalam logika formal—bahwa, dalam
realita, mereka bisa dipisah-pisahkankan.
4. Hukum-hukum Logika Formal:
Absolut
Ketidaklengkapan keempat hukum
logika formal adalah bahwa mereka menyatakan dirinya sebagi sesuatu yang
absolut, mutlak, final, tak bersyarat, dan pengecualian adalah tidak mungkin.
Mereka mengatur dunia pemikirannya dengan cara yang totaliter, memastikan
kepatuhan yang tidak boleh dipertanyakan dalam segala hal, memanjat otoritas
tanpa batas demi kedaulatan mereka. A selalu sama dengan A, tak ada satu pun
yang bisa menggugatnya.
Sialnya, bagi penganut logika
formal, tak ada di dunia ini yang
seperti mereka kemukakan. Ternyata, segalanya hadir sebagaimana aslinya, dengan
sejarah dan syarat-syarat materialnya yang sudah tertentu, baik dalam hubungan
satu dengan yang lainnya maupun dalam keterpisahannya, dan setiap waktu
proporsinya sudah tertentu serta dapat diukur. Masyarakat manusia, contohnya.
Manusia hadir di muka bumi pada waktu tertentu dan secara material dibedakan
evolusinya (lebih tinggi) dari binatang. Namun Ia tak dapat dipisah-pisahkan
sebagai sesuatu yang organik atau non-organik; mereka berkembang dalam
derajat-derajat tertentu dan kehadirannya telah melangkah jauh, tumbuh, secara
kwantitif penuh menuju kwalitatif yang
berbeda. Setiap tahap perkembangan sosialnya memiliki hukum perkembangan
sendiri dan memiliki karakter-karakter khususnya.
Hukum yang mutlak tidak dapat
lagi bertahan di dunia nyata. Dalam berbagai tahap alam, perkembangan ilmu
fisika, elemen kimia, molekul, atom, elektron diyakini oleh pemikir-pemikir
metafisika sebagai atau memiliki substansi yang tidak berubah. Manusia tidak
dapat mundur atau maju. Dengan kemajuan ilmu alam, setiap bagian
keabadian-mutlak telah ditumbangkan—setiap pembentukan materialnya telah teruji
memiliki syarat, terbatas dan relatif. Semua kepentingannya yang menjadi
mutlak, terbatas (secara absolut) dan tidak berubah telah terbukti: salah.
Ketika, pada akhir abad ke-19,
ilmuwan mulai mengadakan dan memperoleh berbagai macam penemuan, ilmuwan sosial
Amerika Serikat malah meyakini bahwa demokrasi borjuis merupakan bentuk mahkota
pemerintahan bagi peradaban manusia. Namun, pengalaman sejarah sejak 1917 telah
menjadi saksi bahwa demokrasi borjuis telah ditumbangkan oleh bolsevikisme dan
fascisme—telah terbukti bahwa alangkah terbatasnya sejarah ini, dan alangkah
banyak serta bersyaratnya bentuk-bentuk kapitalisme.
Jika setiap hal hadir di bawah
syarat material sejarah tertentu, berkembang, beragam, kemudian menghilang,
bagaimana mungkin hukum absolut berlaku pada segala hal dengan cara yang sama,
pada derajat yang sama, di setiap waktu dan di bawah semua syarat-syarat
tertentu? Itu tentunya merupakan klaim yang dibuat oleh logika formal.
Tuntutannya pada realistas, dan dalam pencarian hukum-hukumnya, logika formal
menyebabkan ilmuwan jatuh pada kebutaan logika.
Pada analisanya yang terakhir,
hanya Sang Absolut lah yang memenuhi standar logika formal. Sang Absolut lah
yang seharusnya mulak, tidak terikat, sempurna, independen dari segalanya...
5. Logika Formal Bisa Membuat
Perhitungan tentang Segala Hal—Tapi Bukan atas Dirinya
Akhirnya, hukum logika formal,
yang seharusnya memberikan penjelasan rasional bagi segala hal, memiliki
kesalahan yang serius. Logika formal tak bisa memperhitungkan atas dirinya.
Menurut teori Marxisme, segalanya menjadi ada karena hasil dari sebab-sebab
material, yang berkembang lewat fase-fase
yang silih-berganti, yang akhirnya mati.
Bagaimana logika formal dan
hukummya? Dimana, kapan dan mengapa segala hal bertumbuh, bagaimana segala hal
berkembang? Apakah segala hal abadi?
Jika kau menantang penganut
logika formal, bertanya bagaimana cara menerapkan hukum-hukum logika ke dalam sejarah
dan bagaimana menerima aturan-aturan universal tersebut maka, tak ada yang berbeda, mereka akan menjawab
seperti halnya kaum monarki menjawabnya: kami melakukannya atas nama ... (Sang
Absolut)
Kita lihat berapa banyak kebenaran dalam dialektika dan
agama seperti yang dibuat profesor James Burnham dan Sidney Hook. Dalam
kenyataanya, logika formal berjalan bergandengan dengan ke-Absolut-an dan
dogmatisme. Sebagai hukum-hukum keabadian.
Logika formal berdiri bersamaan
dengan prinsip-prinsip keabadian moralitas, seperti yang digambarkan Trotsky:
“Surga selalu hanya dijadikan senjata—yang digunakan dalam operasi
militer—untuk melawan dialektika materialis.”[12]
Pada kenyataannya, logika formal
muncul dalam suatu masyarakat pada tahapan tertentu, dalam sebuah titik
perkembangannya. Dan, kemudian, manusia dapat menundukkan alam; kemudian ia berkembang sepanjang pertumbuhan
umat manusia, sepanjang pertumbuhan tenaga-tenaga produktifnya, hingga bisa
bekerja sama dengan pemikiran dialektik, yang ditanamkan lewat perkembangan
lebih lanjutnya. Tempat bagi logika dialektik ada dimana saja, tapi dibutuhkan
suatu revolusi dalam pemikiran manusia untuk menempatkannya secara tepat.
Salah satu kelebihan dialektika
dari logika formal bisa dilihat dalam kenyataan; tidak seperti logika formal,
dialektika tidak hanya dapat menghitung keberadaan logika formal namun juga
dapat menunjukkan mengapa harus menggantikan logika formal tersebut. Dialektika
dapat menjelaskan tentang dirinya, pada dirinya, dan pada yang lain. Oleh
karenanya, dielektika lebih logis ketimbang logika formal.
***
Mari kita melihat bagaimana
kemajuan kritik kita terhadap logika formal. Kita mulai dengan mencari
kepastian tentang kebenaran logika formal. Kemudian kita mencapai sebuah batas
yang, bila kita teruskan (pencarian tersebut), hanya akan berisi
kesalahan-kesalahan semata. Kemudian kita dorong maju melewati batasan
tersebut. Maka kita, akhirnya, akan menolak “kebenaran” logika formal yang tak
bersyarat, absolut, bertentangan dengan apa yang hendak kita pastikan.
Hukum formalisme terlihat
memiliki dua sisi, kebenaran dan kesalahan.Kemudian, ketika segala hal menjadi
lebih kompleks dan kontradiktif, hukum-hukum bisa berkembang dan berubah sesuai
dengan akal sehat saat menganalisa tendensi yang berlawanan (secara terus
menerus)—memang demikian lah hukum yang ada dalam diri segala hal. Ketika kita
meganalisa dua kutub yang bertentangan dari segi karakter kontradiksinya,
melepas saling-hubungan di antaranya, maka kita dapatkan bagaimana dan mengapa
masing-masing kutub tersebut menjadi berubah sesuai dengan hukum-hukum dirinya
masing-masing.
Itulah metode dialektik yang
digunakan dalam berfikir. Hasilnya, kita akan tiba di depan gerbang dialektika
dengan menggunakan jalur dialektik yang sejati.
Itu lah sebabnya juga mengapa kemanusiaan akan sampai pada dialektika,
memegangnya sebagai sebuah sistim perumusan pemikiran. Manusia menemukan
batasan-batasan dalam logika, namun bisa menundukkannya dengan membuat sebuah
bentuk logika yang lebih tinggi lagi secara teoritis. Dialektika membuktikan
kebenarannya dengan mengaplikasikan metode berpikirnya demi menjelaskan dirinya
dan asal usulnya.
Dialektika hadir sebagai hasil
dari sebuah revolusi sosial yang kolosal,
menembus batas semua bagian
kehidupan. Dalam politik, representasi
massa yang bangkit secara tidak sadar kemudian dibimbing oleh pemahaman
dialektik. Mengetuk pintu kaum monarki dan menghancurkannya: “Waktu telah
berubah, kami menuntut kesederajatan!” Dengan semangat formalisme, dengan
semangat logika formal, kaum pembela absolutisme menjawab: “Kau salah, kau
subversif, tidak ada yang berubah dan tidak ada yang dapat berubah. Raja tetap
lah raja, dimana saja dan kapan saja. A sama dengan A, kedaulatan tidak dapat
mensejajarkan manusia yang bukan A, yang Non-A.” Alasan formal semacam itu
tidak dapat membendung kemajuan, kemenangan revolusi demokratik borjuis lah
yang, kemudian, menghancurkan monarki. Dialektika revolusioner, bukan logika
formal, yang berlaku dalam politik praktis.
Dalam ruang
ilmu-pengetahuan, logika formal
terjerumus dalam kriris revolusioner yang sama sebagaimana yang dialami politik
absolutisme. Kekuatan baru ilmu-pengetahuan bangkit dalam perkembangan alam dan
ilmu sosial—yang memukul logika formal yang sudah berkuasa ribuan tahun—guna
menuntut hak mereka. Bagaimana revolusi logika dimulai dan dan ke mana arahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar