Manusia
adalah makhluk yang berpikir. Berpikir sudah merupakan bakat dan bawaan
manusia. Setiap manusia pasti berpikir. Dan sudah semestinya manusia untuk
berpikir karena realitas tidak selalu hadir di hadapannya. Justru kalau
dibandingkan dengan realitas yang hadir di hadapannya, maka yang tidak hadir
jauh lebih banyak. Lantas apa hubungannya antara berpikir dan kehadiran
realitas? Hubungannya sangat erat. Manusia berpikir untuk tahu realitas. Lalu,
manusia tahu realitas untuk mengambil sikap dan tindakan terhadap realitas
tersebut. Bisa bertindak diam, tertarik, ogah karena tidak menarik, terhibur
atau menggebu untuk menghampiri realitas yang sudah ada di hadapannya. Tentu
masuk pada maksud tahu realitas adalah ada atau tidak adanya yang diduga sebagai
realitas. Maksudnya, bisa jadi manusia tidak bertindak apa-apa karena yang
dipradugakan sebagai realitas ternyata bukan realitas, katakan saja seperti
fatamorgana yang diduga sebagai air.
Inilah
fakta yang berlaku pada manusia. Dia berpikir. Berpikir berarti sebuah proses
mencari tahu tentang apa pun untuk diidentifikasi sebagai ada atau tidak ada.
Karena berpikir merupakan sebuah proses, tak pelak manusia dari sisi
pengetahuan adalah manusia setengah jadi, atau justru separuh jadi, atau lebih
parah lagi belum jadi. Tak heran bila manusia tanpa tahu seperti binatang
ternak.
Jadi,
karena berpikir adalah manusia itu sendiri, maka semua tindakan dan sikapnya
terhadap realitas tidak lepas dari proses itu, siapa pun manusianya. Tapi,
berpikir saja tidak cukup. Banyak yang berpikir tepat tapi tidak tepat sasaran,
atau sampai pada tepat sasaran tapi tidak tepat berpikir, atau malah keduanya:
tidak tepat berpikir dan sasaran. Apa yang kurang? Yang kurang adalah metode
berpikir. Meski berpikir adalah bawaan manusia, tapi tidak dengan metodenya.
Manusia berpikir dari pertama, tapi tidak bermetode sejak semula. Manusia harus
mencari dan merumuskan metode bagaimana dia berpikir tepat, bahkan efisien.
Jika metode harus dicari, maka dengan metode apa metode itu dicari. Apa
dihadapkan pada lingakaran setan? Ada satu hal yang pasti pada metode berpikir,
yaitu metode dasar, di mana ini merupakan inti dari berpikir itu sendiri.
Metode dasar ini bukan sesuatu yang ditambahkan pada kegiatan berpikir,
melainkan berpikir itu sendiri. Jadi sebenarnya apa yang sedang kita cari?
Sederhana saja: kita sedang mencari sebuah metode panjang tahap lanjut di luar
metode dasar itu. Metode dasar merupakan modal awal yang diberikan oleh Sang
Pencipta kepada manusia untuk bekal pengembangan metode tahap lanjut. Tanpa
metode dasar itu manusia tidak akan pernah pintar. Tentu, tidak semua manusia
berhasil menjalankan misi pengembangan ini. Lebih banyak yang tidak berhasilnya
dibanding yang berhasil. Di antara mereka yang berhasil adalah Aristoteles.
Aristoteles adalah bapak dari logika tahap lanjut. Kaidah berpikir setahap demi
setahap diungkap dan dirumuskan. Sebagai hasilnya: kita saat ini sudah
disuguhkan dengan sebuah sistem tepat berpikir dengan disiplin ilmu yang diberi
nama logika. Meski pengembangan tidak akan berakhir cepat bahkan tidak akan
berakhir, logika masa kini sudah cukup memadai dan menyeluruh. Jadilah dengan
mudah kita bisa dibandingkan dengan masa-masa lalu membedakan mana berpikir
dengan kaidah dan tanpa kaidah. Berpikir salah banyak penyebabnya. Boleh jadi
karena meski sudah berkaidah tapi tidak didukung oleh premis-premis yang
mamadai. Boleh jadi berpikir tanpa kaidah tapi secara kebetulan sampai pada
sasaran. Atau boleh jadi berpikir tanpa kaidah dan premis yang memadai. Oleh
karena itu, logika dibagi dua: logika formal dan logika material. Yang pertama
tentang kerangka berpikir, dan yang kedua tentang bahan berpikir.
Ringkasnya,
logika adalah cara berpikir tepat sasaran. Sedangkan berpikir logis adalah
berpikir secara tepat baik dalam kerangka maupun materi. Siapa saja disebut
sudah berpikir logis bilamana sudah tepat dalam berpikir, baik dalam kerangka
maupun bahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar