Apa yang
"hilang" dari dunia kerja selama beberapa dekade sebelumnya, dan yang
kemudian nampaknya "ditemukan kembali" oleh enfantrepreneur,
yakni generasi pengganti Steve Jobs, Steve Wozniak, Bill Gates, Paul Allen,
Andrew Grove, Tim Berners-Lee, dan entrepreneurdotcom senior yang
berusia 40 tahun ke atas? Apa sebetulnya yang "ditemukan"
remaja-remaja badupulta (bawah 20 tahun) yang mengidolakan Michael Dell
(Dell Computer), Jeff Bezos (Amazon), Ted Waitt (Gateway), Piere Omidyar
(eBay), David Filo dan Jerry Yang (Yahoo), yang semuanya terkenal, kaya raya,
dan 'sukses' sebelum usia 40 tahun?
Mengapa mereka tak lagi
percaya pada ajaran kuno seperti, "Sekolah yang rajin. Dapatkan rangking
terbaik. Masuk universitas terbaik dan berjuanglah untuk lulus dengan IP
tinggi. Maka kelak akan mendapatkan kerja dengan gaji dan fasilitas terbaik
dari perusahaan-perusahaan multinasional terkemuka", atau nasihat yang
senada dengan itu? Mengapa sebagian di antara mereka secara ekstrem menganggap
"sekolah" cuma buang-buang waktu dan sama sekali tidak menarik,
sehingga mencemaskan para orangtua mereka--khususnya kaum kelas menengah yang
merupakan produk dunia persekolahan sampai 3-4 dekade yang lalu? Mengapa
Antonio Borges, Dekan sekolah bisnis INSEAD itu, mengatakan bahwa, "Thirty
years ago MBA students dreamed of running General Motors; ten years ago they
dreamed of working at Goldman Sachs; five years ago it was McKinsey. Now they
dream about running their own company"?
Sebelum kita menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas baiklah diingat bahwa generasi yang lahir setelah
tahun 80-an adalah generasi yang menatap dunia dengan mata yang sama sekali
berbeda dengan Cohort sebelumnya. Mereka lebih 'realistis' dalam
menghadapi realitas bahwa persekolahan, termasuk sekolah-sekolah bisnis paling
terkemuka sekalipun, bukanlah jalan satu-satunya menuju cita-cita
mereka. "Sekolah" yang lebih "real" adalah
"sekolah besar kehidupan" dan bukan sebuah gedung jauh dari rumah
yang lebih mirip "penjara" dengan "sipir-sipir" yang
kebanyakan sok tahu. Mereka amat pandai "belajar-tanpa-sekolah",
karena tahu mengakses sumber-sumber informasi dari berbagai belahan dunia yang
sudah menanti di ujung jarinya.
Kalau "sekolah
baru" yang banyak menampung enfantrepreneur ini harus diberi nama,
maka mungkin salah satu namanya adalah click-business-school. Atau virtual-school-of-life.
Atau ... terserahlah. Namakan saja sesuka Anda. Yang jelas, bagi mereka yang
dapat berkata "ku-tahu-yang-ku-mau" maka soal akses pengetahuan yang
diinginkan tinggal "klik-saja-langsung".
Bagi Cohort 80-an
ini, tidak terlalu jelas bedanya antara "bermain" dan
"bekerja", antara "hobi" dan "mencari nafkah".
Tanya saja pada ABG-ABG seperti Adi Mulianto Mulia yang diusia 13-an tahun
sudah punya toko virtual indomall.od.id. Atau pada Wiro Hardy dan Korpin yang
punya toko datakencana.com saat belum lulus sarjana. Mereka ini harus disebut
"pelajar", "mahasiswa", atau "wirausahadotcom"?
Mungkin semuanya.
Kembali ke
pertanyaan-pertanyaan awal tadi, apa yang "ditemukan" generasi baru
yang menghuni, meminjam istilah Piliang, "sebuah dunia yang dilipat"
itu? Hemat saya ini: the joy of work, excitement, energy, enthusiasm, and
spirit (untuk mudahnya disingkat the JEEES). Mereka menemukan
kembali kesenangan, kegembiraan, kegairahan, energi dan semangat dalam bekerja.
Inilah hal-hal penting yang "hilang" dari dalam diri angkatan kerja
Cohort 50-60-70-an. Secara agak khusus the JEEES ini mengalami erosi
tajam ketika segala proses berawalan "re" --rethinking,
reengineering, reinventing, repositioning, reforming, dan lainnya-- mulai
tahun 80-an.
Semua wacana itu
"sukses" menyebarkan rasa takut ke seluruh penjuru bumi. Rasa aman
dalam arti job security, terkikis arus deras perubahan global yang ganas
menyerbu kawasan-kawasan "lokal". Kehilangan "pekerjaan"
telah menjadi hantu yang membunuh motivasi kerja sebagian besar karyawan. Dan
di Indonesia hal itu diperparah dan diakselerasi oleh krisis multidimensional
yang meruntuhkan konglomerasi Orde Baru diikuti oleh pembubaran beberapa
departemen pemerintah yang membuat puluhan ribu karyawan swasta dan pegawai
negeri kehilangan "pekerjaannya".
Jadi, pada satu sisi kita
menyaksikan "matinya" angkatan kerja lama, dan bersamaan dengan itu
"lahirnya" angkatan kerja baru. Dapat dikatakan bahwa semua itu bagai
pertanda runtuhnya kubu pro status quo dan bangkitnya kubu reformis yang
sama sekali baru. Barisan bermental pegawai yang biasa disebut "employee"
digantikan dengan barisan anak-anak muda yang sambil "bermain"
menyatakan kehadirannya sebagai "entrepreneur". Dan berbeda
dengan barisan "employee" yang penakut, kurang inisiatif, dan
enggan mandiri, barisan anak muda "entrepreneur" ini sangat
berani, penuh inisiatif, dan mandiri. Mereka tidak suka menunggu "petunjuk
Bapak Presiden", tetapi berkiprah langsung dalam e-world yang tanpa
batas itu. Mereka tidak menunggu kredit untuk usaha kecil-menengah yang banyak
diselewengkan ke kantong-kantong "konsultan" UKM dan birokrat
bermental Orde Baru, tetapi langsung menawarkan Bika Ambon buatan Medan ke
Singapura dan Malaysia. Ekspor kerajinan dari bahan kertas bekas oleh seorang
mahasiswi dari Fakultas Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta,
adalah sekadar contoh kecil dari kiprah generasi-entrepreneur Cohort 80-an.
Konsumennya sampai ke Eropa, Amerika, dan Australia.
Salah satu hal dasar yang
membuat generasi-entrepreneur ini berbeda dengan generasi sebelumnya
adalah cara mereka memahami pekerjaan dan membangun "job security"
model baru. Mereka mengerjakan tugasnya sebagai hobi sekaligus nafkah hidup.
Mereka "bermain" sambil "bekerja". Rasa aman mereka
tumbuhkan dari dalam dirinya, dan bukan digantungkan pada
"perusahaan", apalagi "pemerintah".
Menatap arah
desentralisasi dan otonomi daerah dari perspektif generasi-entrepreneur di
atas, kita boleh berharap bahwa perekonomian Indonesia tidak akan hancur
seperti yang sering diutarakan para pakar dadakan akhir-akhir ini. Bahkan kita
dapat mengatakan bahwa para pakar akan banyak membuat prediksi yang keliru
karena mereka sendiri adalah generasi-employee yang selama beberapa
dekade menggerogoti ekonomi Indonesia dengan logika-logikanya yang
"baku", bahkan "kaku".
Benarkah demikian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar