Menurut Bullmer, empati adalah suatu proses ketika
seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu,
kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa hingga
menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain itu. Bullmer
menganggap empati lebih merupakan pemahaman terhadap orang lain ketimbang suatu
diagnosis dan evaluasi terhadap orang lain. Empati menekankan kebersamaan
dengan orang lain lebih daripada sekadar hubungan yang menempatkan orang lain
sebagai obyek manipulatif. Taylor menyatakan bahwa empati merupakan faktor
esensial untuk membangun hubungan yang saling memercayai. Ia memandang empati
sebagai usaha menyelam ke dalam perasaan orang lain untuk merasakan dan
menangkap makna perasaan itu. Empati memberikan sumbangan guna terciptanya
hubungan yang saling memercayai karena empati mengkomunikasikan sikap
penerimaan dan pengertian terhadap perasaan orang lain secara tepat. Sedangkan
Alfred Adler menyebut empati sebagai penerimaan terhadap perasaan orang lain
dan meletakkan diri kita pada tempat orang itu. Empathy berarti to
feel in, berdiri sebentar pada sepatu orang lain untuk merasakan betapa
dalamnya perasaan orang itu.
Senada dengan Adler, Tubesing memandang empati
merupakan identifikasi sementara terhadap sebagian atau sekurang-kurangnya satu
segi dari pengalaman orang lain. Berempati tidak melenyapkan kedirian kita.
Perasaan kita sendiri takkan hilang ketika kita mengembangkan kemampuan untuk
menerima pula perasaan orang lain yang juga tetap menjadi milik orang itu.
Menerima diri orang lain pun tidak identik dengan menyetujui perilakunya.
Meskipun demikian, empati menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat
apalagi keputusan. Dalam berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain
merasakan perasaan tertentu dan mendengarkan bukan sekadar perkataannya
melainkan tentang hidup pribadinya: siapa dia dan bagaimana dia merasakan
dirinya dan dunianya.
Awal Dari
Cinta: Empati
Karena itu dapat dipahami mengapa John Powell
menganggap empati sebagai kunci keberhasilan mencintai orang lain. Bagaimana
kita bisa berempati terhadap orang lain? Empati dimulai dengan mendengarkan dan
memahami keunikan orang lain. Satu-satunya pertanyaan dalam berempati adalah:
Bagaimana rasanya menjadi dirimu? Empati berarti meresap di dalam kulit orang
lain, berjalan dengan sepatunya, melihat dan mengalami kenyataan melalui
matanya. Pada akhirnya, empati bukan menawarkan nasihat, melainkan pengertian.
“Oh ya, saya mendengarkanmu.” Bila esensi empati adalah mendengarkan dan
sungguh-sungguh hidup dalam pengalaman orang lain, maka puncak empati menuntut
– sekurang-kurangnya untuk sementara – kesediaan untuk ‘hidup’ dalam diri
seseorang, dalam pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan, dalam nilai-nilai dan
kepercayaannya. Ketika aku berempati kepadamu, maka aku meninggalkan diriku
sendiri untuk bersamamu.
Banyak di antara kita yang sudah punya pengalaman
bahwa tidaklah banyak orang yang benar-benar bisa menjadi pendengar yang baik.
Ketika kita berusaha berbagi bersama orang-orang lain, banyak di antara mereka
justru cenderung sekadar menampung, merangkum diri dan semua yang kita bagikan
kepada mereka menjadi suatu masalah, kemudian merencanakan solusinya. Mereka
lalu hendak berbuat baik lewat upaya memberitahu kita bagaimana kita harus
bertindak. Kalau tidak begitu, mereka mungkin meragukan kebenaran komunikasi
kita: “Kau tidak sungguh-sungguh bermaksud begitu, ‘kan?” Atau mereka mulai
menceritakan perihal mereka sendiri, berusaha meyakinkan kita bahwa masalah
serupa itu sudah mereka alami dalam kehidupan mereka. Tak satu pun dari
reaksi-reaksi itu merupakan bagian dari mendengarkan secara empatik. Aku tahu
bahwa kau benar-benar mendengarkan aku hanya bila raut wajahmu menggambarkan
perasaan-perasaanku sekarang, hanya bila suara dan gerak tubuhmu mengatakan,
“Oh begitu ya menjadi dirimu … Aku mendengarkanmu.”
Pendengar empatik tidak menghakimi, mengritik maupun
mengarahkan, karena dalam tindakan berempati itu ia meninggalkan posisi,
persepsi, dan lebih dari semuanya itu: segala praduganya. Segenap
konsentrasinya dilimpahkan untuk benar-benar memahami pengalaman orang lain. Ia
mengorak rantai yang membelenggu dan keluar dari dalam diri sendiri untuk
memasuki pikiran, perasaan dan situasi kehidupan orang lain.
Apabila kita telah mengidentikkan diri dengan orang
lain sedemikian, maka kita sudah memberikan kebutuhan utama setiap orang:
memiliki seseorang yang sungguh-sungguh memahami bagaimana rasanya menjadi
diriku! Hanya sesudah menenggelamkan diri kita ke dalam pengalaman empatik
itulah kita mampu mengetahui apa saja yang bisa kita katakan atau lakukan untuk
menjadi orang baik yang menghadirkan kebahagiaan bagi orang lain. Mencintai
adalah suatu seni. Tidak ada keputusan otomatis atau formula yang pasti dan
final ketika kita mencoba untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Barangkali kita
perlu bersikap tegar atau lembut, bicara atau diam, duduk di sisinya atau
membiarkan orang itu menikmati kesendirian yang memperkaya dirinya. Hanya orang
empatik yang mampu menguasai seni ini.
Dua Hal Sejati Dari Cinta
Apa pun hal lain yang dituntut cinta dari kita dalam
hal memberi, ada dua hal tak terpisahkan yang selalu menjadi bagian dari
mencintai. Pahamilah bahwa dua hal itu yang terutama dibutuhkan dalam
mencintai. Hal pertama yang menjadi hadiah bagi orang yang kita cintai adalah
pengungkapan diri kita sendiri. Semua hadiah yang beralas cinta – misalnya
bunga, tas, dompet, pakaian atau permen coklat – tak lebih dari sekadar
ungkapan simbolik. Hadiah sejati dari cinta adalah memberikan diri kita
sendiri. Bila aku tidak memberimu kebenaran sejati tentang diriku, aku tidak
memberimu apa-apa. Aku hanya memberikan dalih dan kepura-puraan belaka.
Mencintaimu berarti mengizinkanmu mengerti aku, siapa adaku.
Hadiah sejati kedua dari cinta adalah peneguhan
terhadap kebutuhan orang yang kita cintai. Apabila aku mencintaimu,
bagaimanapun juga aku harus menghargaimu dan menunjukkan penghargaanku terhadap
kebaikan dan keunikan pribadimu. Aku tidak bisa mencintaimu tanpa menyumbangkan
hal positif maupun negatif terhadap seluruh kepentingan citra dirimu dalam
diriku. Demikian pula aku tidak mungkin menanggalkan semua kepentingan
pribadiku. Kita serupa cermin satu sama lain, dan di dalamnya kita saling
menemukan diri sendiri sebagai bayangan dari reaksi orang lain: engkau bagiku
dan aku bagimu. Kita selalu menyumbangkan hal positif maupun negatif terhadap
citra diri orang lain. Aku tahu bahwa aku berharga hanya bila aku memantulkan
senyum di wajahmu, meresapi kehangatan suaramu dan sentuhan lembut tanganmu.
Sebaliknya engkau pun bisa menyadari keberadaan yang serupa pada wajah, suara
dan sentuhanku. “Semua yang kita butuhkan hanyalah sedikit pengertian dan
sedikit cinta!”
Singkatnya, mata seorang yang mencintai bisa melihat
dalam diri setiap orang lain bukan hanya satu melainkan dua kepribadian
sekaligus: luka dan kemarahan, kebaikan dan anugerah. Inilah yang disebut
pengertian. Inilah cinta yang mengarah pada kebaikan dan berupaya menjadi
hadiah bagi sesama. Awal terpenting dalam mencintai adalah empati, yang mencairkan
kebekuan cinta diri dan menghadiahkan perasaan yang tiada taranya kepada orang
lain karena ia sudah dimengerti. Sambil mendengarkan dan terus membuka hati
dalam berempati, kita harus menanggapi kebutuhan-kebutuhan khusus orang yang
kita cintai. Dua kebutuhan utama yang tak mungkin diabaikan adalah memberikan
diri sendiri – siapa ada kita – dan tak berhenti menjadi hadiah yang meneguhkan
hidup orang yang kita cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar