"Pandangan
dunia (weltanschauung) seseorang
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya
terhadap "kebenaran" (asy-Syai
fil khârij). Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang
berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya, semakin luas
dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat
melesakkan seseorang mencapai titik kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya
terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan
kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran. Anda dikenal
atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan
vice-versa. Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal? Parameter
atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu?
Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter ini? Dapatkah manusia mencerap
kebenaran itu? Bla..bla..bla..? Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat
manusia, sebagai makhluk dinamis dan progressive, manusia acapkali dihadapkan kepada
persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan
keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran, penyusuran serta
jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat
eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha bertungkus lumus
memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga
akhir hayatnya."
"Tuhanku,
para arif berkata kenalkan diriMu kepadaku, dan jahil ini berkata kenalkan
diriku kepadaku." Introduksi Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di
antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran" (asy-Syai
fil khârij). Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi
dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya, semakin luas dan dalam
pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat
melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan]sebaliknya akan
membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas
keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran.
Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan
Anda dan vice-versa. Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal? Parameter
atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu?
Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter ini? Dapatkah manusia mencerap
kebenaran itu? Bla..bla..bla..?
Kalau
kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan
progressive, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang
hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial.
Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas
masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia
berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini.
Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir
hayatnya. Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu
memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini. Karena uslub atau
metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal. Filsafat sebagai induk
ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini.
Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan
metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua eksisten.
Betapa
pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrument yang
digunakan dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang
digunakan sebagai instrument berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia
absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas
terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa
Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan
persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard.
Dengan demikian, pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat
menjadi mesti adanya. Yakni, sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat
– yang nota-bene menggunakan akal (an-sich) – kita harus
membahas instrument dan metodologi apa yang valid untuk menyingkap tirai
realitas ini. Dan ini adalah raison d'être pembahasan epistemologi. Atau
sederhananya, pembahasan epistemology adalah pengantar menuju pembahasan
filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung
untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya
adalah mungkin. Walhasil, pembahasan epistemology sebagai ilmu yang meneliti
asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan
menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus
dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.
Apa Itu Epistemologi
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani
yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua
kalimat episteme, pengetahuan; dan logos,
theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah
filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian
dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan
niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan
kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi
dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu
penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini
epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran;
macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Manusia
dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang
berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari
manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat
manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor
kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa
keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi
matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah
manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi
atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada
dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu
yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1.
Hakikat itu ada dan nyata;
2.
Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang
hakikat itu;
3.
Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan
dipahami;
4.
Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan
makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan
yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi
manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan
yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu
benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah
bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas
bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian
dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa
menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak
memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana
adanya, keraguan ini
akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi
pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di
sepanjang sejarah manusia?
Persoalan-persoalan
terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni
persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu
ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu
justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya
perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang
jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna
yang berbeda, lantas ia meneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan
berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu
sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang
dilihatnya.
Namun,
apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki
ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut?
Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar
atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan
kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan
keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain,
tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang
dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan
untuk melihat benda-benda yang jauh. Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran,
persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan
pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil
pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan
mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan
kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang
benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang
ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan
ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
Dengan
demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji
dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan,
validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia. Pokok
Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok
pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini,
dua poin penting akan dijelaskan:
1.
Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek
epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti
ilmu hushûlî. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah
menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Makna
leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala
hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi
ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu
manusia.
b. Ilmu
adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini
digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
c. Ilmu
yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu
logika (mantik).
d. Ilmu
adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini
dan belum diyakini.
e. Ilmu
adalah pembenaran yang diyakini.
f. Ilmu
ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g. Ilmu
adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.
h. Ilmu
ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana
tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
i. Ilmu
ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk
hal-hal yang linguistik.
j. Ilmu
ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2.
Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi
adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu
dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut
yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi
titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah
satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian
ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi.
Sementara
aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor
riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu
logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur
manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan
akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan
ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan
probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan
pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi
pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai
keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek
dalam epistemologi. Masalah-masalah Filosofis: Masa Yunani dan Masa Medieval
Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang bernama Santo Thomas
Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan ilmu pengetahuan dalam
cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan sumber-sumber beragam seperti
karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan Muslim dan Yahudi.
Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa
kiwari sangat mempengaruhi irama dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat
Barat. Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan reliabilitas
dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen, Gorgias, berpendapat
bahwa tidak ada yang benar-benar wujud, karena jika sesuatu ada tidak dapat
diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, tidak dapat dikomunikasikan. Seorang
Sophist ternama lainnya, Protagoras, berpandangan bahwa tidak ada satu pendapat
pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena setiap pendapat
adalah hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari pengalaman yang dilaluinya.
Plato, mengikuti ustadznya Socrates, mencoba untuk menjawab isykalan-isyakalan
para Sophist dengan mempostulasikan keberadaan semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya
yang invisible, atau ide-ide, yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat
diraih. Mereka percaya bahwa benda-benda yang dilihat dan diraba adalah
kopian-kopian yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji
dalam ilmu matematika dan filsafat.
Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari
disiplin ilmu ini yang dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara
mengandalkan indra-persepsi menghasilkan pendapatpendapat yang inkonsisten dan
mubham. Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk dunia
gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia. Aristoteles mengikuti Plato
ihwal ilmu abstrak adalah ilmu yang lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya,
namun tidak setuju dengan metode dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa
hampir seluruh ilmu berasal dari pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung,
dengan mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau tidak
langsung, dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah
diketahui, berdasarkan aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat
dalam mengaplikasikan aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara
sistematis oleh Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap
yang dipasang oleh para Sophist.
Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan
Aristoteles bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, akan tetapi
menentang keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang berpandangan bahwa
filsafat harus dinilai sebagai sebuah bimbingan praktis untuk menjalani hidup,
mereka berpendapat sebaliknya bahwa filsafat adalah akhir dari kehidupan.
Setelah beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu rasional dan
saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa filosof abad
pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan konfidensi terhadap rasio dan
pengalaman, mencampur metode-metode rasional dengan iman dalam sebuah system
keyakinan integral. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam masalah tentang
persepsi sebagai starting-point dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai
kepada ilmu yang dapat diandalkan (reliable) tentang tabiat, akan tetapi
memandang iman dalam otoritas skriptual sebagai nara sumber keyakinan agama.
Masa Plato dan Aristoteles Plato dapat
dikatakan sebagai filosof pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi
dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemology
ini. Filosof Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah
Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira
20 tahun di Akademia. Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles
akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan
keduanya, sebagaimana tertuang pada table di bawah ini. Table komparasi epistemology
Plato dan Aristoteles Topik Pemikiran Aristoteles Pandangan tentang dunia Ada 2
dunia: dunia ide & dunia sekarang (semu) Hanya 1 nyata yang sedang dijalani
Kenyataan yang sejati Ide-ide yang berasal dari dunia ide Segala sesuatu alam
yang dapat ditangkap indra Pandangan tentang manusia Terdiri dari badan dan
jiwa. Jiwa abadi; badan (tidak abadi). Jiwa terpenjara badan. Badan dan jiwa
sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Asal pengetahuan Dunia ide. Namun
tertanam dalam jiwa yang ada dalam diri manusia. Kehidupan sehari-hari dan alam
dunia nyata
Cara mendapatkan
pengetahuan Mengeluarkan dari dalam diri (Anamnesis) dengan metoda bidan
Observasi abstraksi, diolah dengan logika
Perbedaan
epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para
filosof modern. Idealisme Plato mempengaruhi filosof-filosof Rasionalis seperti
Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal
dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsu-filosof Empiris seperti Locke,
Hume, dan Berkeley. Rasio Vs Indra Persepsi Antara abad 17 hingga akhir abad
ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah
resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis kubu empiris (indriawipersepsi).
Filosof
Francis, René Descartes (1596-1650), filosof Belanda, Baruch Spinoza
(1632-1677), dan filosof Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para
pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian
akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas) yang bersandarkan
kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma. Sementara
orang-orang seperti, Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704)
keduanya adalah filosof Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian
akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi dan
indriawi.
Filosof
Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah
filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk
bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan
metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan. Descartes yang kerap
disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal
sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan
metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu
pengetahuan.
Postulat,
Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya
untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada
di dunia luar harus disangsikan dan diragukan. Pandangan Descartes tentang
manusia sering disebut sebagai dualistis. Ia melihat manusia sebagai dua
substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh
tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya
yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia.
Empirisme
pertama kali diperkenalkan oleh filosof dan negarawan Inggris Francis Bacon
pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesignnya
secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya "Essay Concerning Human Understanding
(1690). John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah
ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa
pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi.
Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara
mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra
manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi
dan batin.
Filosof
empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan
persepsi. Manusia hanya mampu menangkap kesankesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan
itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak
mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia
hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat.
Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab
dan akibat hanya
karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya
tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian
(self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar