Agama
sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan. Agama menandai kekhasan manusia
sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk lain. Peneguhan
eksistensi manusia menjadi orientasi agama. Tasawuf merupakan salah satu model
penghayatan terhadap agama, yakni penghayatan terhadap aspek batin agama.
Spiritualitas mendapatkan prioritas dalam tasawuf, tanpa mengesampingkan
potensi kemanusiaan yang lain. Spiritualitas justru menjadi “motor” peneguhan
kemanusiaan, dengan mengaktualisasi segala potensi kemanusiaan itu. Tasawuf
merupakan fenomena keberagamaan yang telah melembaga. Lebih dari itu, tasawuf
berdampak juga terhadap aspek-aspek kehidupan lain.
Permasalahan
Di Sekitar Tasawuf
Terdapat
pendapat pro dan kontra tentang pengaruh tasawuf terhadap kehidupan umat Islam.
Pada satu sisi, tasawuf dituduh sebagai faktor penyebab kemunduran umat Islam.
Tasawuf dituduh mengajarkan kepasifan dan anti vitalitas. Tasawuf dituduh
melahirkan apatisme terhadap eksistensi kekinian manusia. Di sisi lain, tasawuf
justru diklaim sebagai upaya mempertahankan prinsip-prinsip agama dan
kemanusiaan di tengah ketidak-menentuan tata aturan kehidupan yang dipraktekkan
manusia (Lidinillah, 1995:1).
Perbincangan
tentang tasawuf menjadi semakin menarik dengan munculnya fenomena kesadaran
yang semakin intens di kalangan intelektual terhadap spiritualitas untuk
memperteguh eksistensi manusia. Kesadaran semacam itu menjadi motivasi orang
tertarik dan butuh dengan hidup secara spiritual. Salah satu jawaban terhadap
kebutuhan hidup secara spiritual ditemukan dalam tasawuf. Persoalan yang
menarik untuk dicari jawabannya secara lebih spesifik adalah makna eksistensi
manusia dalam perspektif tasawuf, kemungkinan kesanggupan jalan sufi menjadi
prosedur alternatif bagi upaya peneguhan kemanusiaan.
Permasalahan
Di Sekitar Eksistensi Manusia
Eksistensi
manusia menjadi bahasan aktual dalam filsafat, dan pernah sangat populer pada
kurun waktu tertentu sehingga muncul filsafat eksistensialisme. Filsafat
eksistensialisme merupakan suatu protes. Filsafat eksistensialisme menolak
mengikuti salah satu aliran, keyakinan, khususnya sistem filsafat yang ada
sebelumnya. Filsafat terdahulu bagi mereka bersifat dangkal, akademis, dan jauh
dari kehidupan. Hal itu harus diluruskan. Eksistensi manusia harusnya menjadi
titik pangkal pemikiran filsafat (Dagun, 1990:16).
Eksistensialisme
sebagai suatu gerakan filsafat merupakan suatu usaha yang lebih memadai untuk
memahami watak manusia sebagai individu. Munculnya eksistensialisme dalam
beberapa hal adalah suatu protes terhadap bentuk-bentuk rasionalisme yang
mengutamakan intelektualitas untuk memahami realitas.
Eksistensialisme
juga merupakan reaksi terhadap kecenderungan yang lebih memandang manusia
sebagai suatu benda (a thing) daripada sebagai seorang pribadi (a
person), eksistensialisme juga menekankan ide bahwa terdapat unsure subjektif
sebagaimana unsur objektif di dalam makna kebenaran (Patterson, 1971: 162).
Istilah
eksistensi mengalami perluasan arti. Istilah eksistensi pada mulanya menunjuk
pada pengalaman akan kenyataan. Segala yang bereksistensi dengan cara tertentu
harus terdapat dalam ruang dan waktu, dan harus merupakan objek cerapan indera
(Kattsof, 1986:209). Kemudian, istilah eksistensi menunjuk pada kesadaran
manusia, yang dalam moralitasnya, dapat mengekspresikan identitas dirinya.
Istilah eksistensi dalam pengertian yang pertama maupun kedua selalu mengarah
kepada manusia. Istilah eksistensi menjelaskan apa yang menentukan pengertian
manusia terhadap dirinya sendiri yang independen. Eksistensi bukan hanya
berarti keberadaan manusia, tetapi juga cara berada manusia yang bertolak dari
kesadaran sebagai diri (Dagun, 1990:27).
Hakikat
manusia terletak dalam eksistensinya. Pemahaman terhadap eksistensi manusia
bertolak dari tiga aspek yang integral. Pertama, manusia merupakan keberadaan
jasmani yang tersusun dari bahan material. Kedua, keberadaan manusia tampak
sebagai sosok atau organisme hidup yang menyatu dalam tampilan individu
jasmani. Ketiga, manusia mempunyai ciri kehidupan mentransendensi dan
meneguhkan diri sebagai eksisten (Dagun, 1990: 8).
Apabila
peneguhan diri sebagai eksisten itu bertolak dan hanya mungkin dari
intelektualitas dan spiritualitas manusia, maka agama menyediakan fasilitas itu.
Agama pada dasarnya adalah cara untuk meneguhkan keberadaan manusia (modus
of existence) (Fauzi, 1992: 155). Jalan tasawuf relevan dengan persoalan eksistensi
manusia. Tasawuf dapat menjadi prosedur alternatif bagi upaya peneguhan diri,
yakni peneguhan akan kedirian manusia.
Tasawuf
Sebagai Modus Peneguhan Diri
(Tasawuf Sebagai Mistisisme Khas Islam)
Mistisisme
dalam arti sempit, searti dengan kata ekstase yang berarti berada di
luar diri, mistisisme dikaitkan dengan keadaan emosional yang luar biasa di mana
orang kehilangan kesadaran. Mistisisme, dalam arti luas, adalah berkenaan dengan
segala pengalaman non dan supra rasional, yang meliputi segala gejala di satu
sisi hilangnya kesadaran, dan di sisi lain meningkatnya kesadaran. Tujuan jalan
mistisisme adalah mengatasi keterbatasan sejarah, budaya, dan kepribadian agar
mencapai kesatuan dengan Yang Ilahi dan sekurang-kurangnya memberi kemungkinan
Yang Ilahi mendekati roh manusia (Crapps, 1993: 47).
Mistisisme
sering dianggap sama secara essensial, terlepas dari perbedaan agama yang
dianut para mistikus. Mistisisme dipandang sebagai gejala yang tetap dan sama
dari kerinduan universal manusia untuk bersatu dengan Tuhan. Anggapan semacam
itu dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa setiap gerakan keagamaan muncul dan
berkembang selalu berbenturan dengan keyakinan lain yang telah mapan, yang
cenderung memberikan pengaruh (Arberry, 1985: 7).
Tasawuf
adalah sebutan untuk mistisisme Islam. Terdapat berbagai pendapat mengenai
makna tasawuf ditinjau secara etimologis. Satu pendapat mengatakan, istilah
tasawuf berasal dari kata shafw atau shafaa yang berarti bersih.
Pendapat lain mengatakan, istilah tasawuf berasal dari kata shaff yang berarti
barisan waktu shalat. Pendapat yang lain mengatakan, istilah tasawuf berasal
dari kata shuf yang berarti wol (Umarie, 1966: 9).
Pendekatan
definitif terhadap arti tasawuf juga beragam, yang secara garis besar dapat
diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kelompok pertama memberi aksentuasi moral,
sedang kelompok kedua memberi aksentuasi mistik. Definisi Al-Junaid tentang
tasawuf dalam hal ini mewakili kelompok pertama, sedang definisi Ibn-Khaldun
mewakili kelompok kedua (Hamka, 1990: 4). Definisi tasawuf menurut Al-Junaid : Tasawuf
ialah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai
yang terpuji. Definisi tasawuf menurut Ibn-Khaldun: Tasawuf itu adalah semacam
ilmu syar’iyah yang timbul kemudian dalam agama. Asalnya ialah bertekun
ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap
kepada Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci
perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan
kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.
Tasawuf
mempunyai karakter khas yang membedakannya dari mistisisme lain. Pertama,
apabila kedua definisi tentang tasawuf di atas diperhatikan dan dipahami secara
utuh, maka akan tampak selain berorientasi spiritual, tasawuf juga berorientasi
moral (Lidinillah, 1995: 27).
Kedua,
sumber tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam ALQur’an dan
Al-Hadits, dan juga kehidupan para sahabat Rasulullah Muhammad SAW (Hamka,
1993: 37). Seorang sufi pertama kali akan mencari petunjuk dan referensi bagi
pembenaran tindakannya dalam Al-Qur’an sebagai acuan utama. Dia juga akan
mengacu kepada Hadis Rasulullah Muhammad SAW sebagai sumber keterangan
penjelas. Referensi selanjutnya bagi aktivitas tasawufnya adalah pengetahuan
dan tindakan para pengikut setia Rasulullah Muhammad SAW. Pengalaman spiritual
yang diperolehnya sebagai penunjang semuanya itu (Arberry, 1985: 10). Esensi
Islam dengan berbagai aspek ajarannya adalah tauhid. Bila sumber tasawuf
adalah ajaran Islam, maka sendi pokok tasawuf adalah tauhid, sehingga
tasawuf merupakan mistisisme khas Islam yang sepenuhnya monoteistik, bukan
panteistik seperti mistisisme lain (Lidinillah, 1995: 27).
Ketiga,
beberapa faham mistisisme berpendirian bahwa mistik adalah jalan individual.
Kesempurnaan spiritual mistisisme hanya dapat dicapai dengan meninggalkan
kehidupan sosial. Kehidupan social menghalangi manusia mencapai kesempurnaan
spiritual individu. Sendi pokok tasawuf adalah tauhid. Penghayatan yang intens
terhadap tauhid akan mengantarkan kepada pemahaman dan keyakinan bahwa
sebenarnya fitrah manusia itu hidup bermasyarakat. Kalimat tauhid La Ilaaha
illallah dalam dimensi rububiyah dapat diungkapkan dalam kalimat La
khalika illallah yang berarti tidak ada pencipta kecuali Allah (Ilyas,
1989: 34). Implikasi keyakinan tidak adanya pencipta kecuali Allah adalah keyakinan
bahwa seluruh umat manusia berasal dari satu pencipta dan karenanya manusia itu
sederajat. Hikmah diciptakannya manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
adalah untuk saling mengenal dan mendekatkan diri satu dengan yang lain. (Q.S.
49:13). Inilah pengakuan Islam terhadap sosialitas manusia. Tasawuf dengan
demikian juga berorientasi sosial (Lidinillah, 1995: 27).
Tasawuf
mengalami pasang-surut sejalan dengan sejarah perkembangan kehidupan umat
Islam. Tasawuf pada mulanya, abad pertama dan kedua hijriyah, lebih merupakan
reaksi terhadap kondisi moral dan sosial yang menyimpang. Tasawuf lebih
bersifat akhlaki. Pada abad ketiga dan keempat hijriyah, ketika terjadi
pembenturan antara keyakinan Islam dengan keyakinan di luar Islam, tasawuf
menjadi sarana untuk mencapai kepuasan spiritual yang ditengarai dengan
keberhasilan manusia menyatu dengan Tuhan. Tasawuf lebih bersifat metafisik.
Pada abad kelima hijriyah dan seterusnya, muncul kesadaran bahwa tasawuf mesti
dikembalikan kepada ruhnya yang semula, yakni ruh Islam yang menjunjung tinggi
nilai amal di samping kehidupan spiritual, menekankan kehidupan sosial di
samping kehidupan individual (Asmaran, 1994: 249).
Eksistensi
Manusia dalam Islam
Motif
diciptakannya manusia, berdasarkan Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam
dan sebagai pilar utama tasawuf, adalah untuk menjadi wakil Tuhan di bumi (khalifatullah
fil ardhi), hal ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 30. Kedudukan
sebagai wakil Tuhan di bumi merupakan predikat yang luar biasa dan menempatkan
manusia pada posisi yang lebih tinggi dari makhluk lain. Wakil Tuhan di bumi
adalah subjek yang mampu membaca dan menafsirkan kehendak dan aturan-aturan
Tuhan untuk kemudian dijelmakan menjadi perilaku konkrit dalam rangka menjaga
kemaslahatan bumi (Lidinillah, 2000: 106).
Tidak
semua manusia mampu menjadi wakil Tuhan. Untuk menjadi wakil Tuhan yang
sesungguhnya dibutuhkan syarat-syarat tertentu. Iqbal (1953) menyebutkan, untuk
menjadi wakil Tuhan seseorang harus “taat” dengan aturan-aturan Tuhan dan harus
mampu mengendalikan diri, dengan dua kondisi itu kekhalifahan Tuhan dapat
dijalankan, dan eksistensi manusia sebagai wakil Tuhan di bumi diteguhkan.
Hakikat
manusia sebagai eksisten berdasarkan Al-qur’an surat Al- Mukminuun ayat 115
adalah ciptaan yang mempunyai fungsi dan bertanggung jawab atas fungsinya itu.
Manusia itu ciptaan Tuhan sebagaimana makhluk lainnya. Kelebihan manusia
dibandingkan dengan makhluk yang lain adalah terletak pada fungsi, yakni
kemampuan melaksanakan dan mempertanggungjawabkan fungsinya. Fungsi utama
manusia sebagai eksisten secara eksplisit dijelaskan dalam surat Adz-Dzariyat
ayat 56, yakni untuk mengabdi kepada Tuhan. Segala aktivitas kemanusiaan mesti
dimaknai sebagai suatu pengabdian. Kesadaran diri sebagai khalifah dan fungsi
pengabdian sebenarnya identik. Pengabdian merupakan jalan untuk meneguhkan
eksistensi manusia sebagai wakil Tuhan di bumi. Kesadaran diri sebagai khalifah
merupakan motif pengabdian yang total.
Relasi
Manusia-Tuhan sebagai Parameter Eksistensi Manusia
Tasawuf,
sebagai mistisisme yang berpangkal pada ajaran Islam, dalam segala bentuk dan
coraknya mempunyai kesamaan dalam hal orientasi. Manusia, dalam tasawuf, diakui
mempunyai kedudukan yang istimewa di hadapan Tuhan, yakni sebagai khalifahNya.
Menghadapkan manusia dengan Tuhan sebagai dua subjek berbeda dalam perbincangan
tasawuf adalah relevan. Tema pokok tasawuf biasanya berkisar pada kemungkinan
manusia “mendekati” Tuhan. Esensi Islam adalah tauhid, yakni keyakinan akan
keesaan Tuhan dalam segala dimensinya. Begitu pentingnya tauhid, sampai-sampai
tidak ada toleransi bagi pelanggaran terhadapnya. Untuk memantapkan tauhid,
Al-Qur’an dalam berbagai bagiannya mengajarkan transendensi Tuhan, meskipun
dalam bagian yang lain mengajarkan imanensi Tuhan. Al-Qur’an mengajarkan bahwa
Tuhan berbeda secara esensial dan bahkan mengatasi alam semesta; tetapi Tuhan
juga menampakkan tanda-tanda diriNya dalam alam semesta (Asmaran, 1994: 56).
Ketegangan
antara transendensi dan imanensi Tuhan mempunyai makna tersendiri bagi para
sufi. Bagi mereka, benar bahwa Tuhan secara esensial berbeda dan bahkan
mengatasi alam termasuk manusia di dalamnya; tetapi bukan berarti Tuhan tidak
dapat didekati oleh manusia. Tanda-tanda Tuhan yang nampak pada alam semesta
mengindikasikan bahwa Tuhan mengijinkan dirinya “didekati” oleh manusia. Bagi para sufi, Tuhan dapat didekati
oleh manusia secara ruhaniah. Tasawuf adalah suatu cara mengabdi pada Tuhan
dalam kondisi kesadaran penuh bahwa Tuhan dekat dengan manusia. Tujuan tasawuf
adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
seseorang akan betul-betul mencapai kesadaran bahwa dirinya berada di hadapan
Tuhan sebagai khalifahNya.
Berdasarkan
pemahaman tentang relasi Tuhan-manusia di atas, keteguhan manusia sebagai
eksisten bagi para sufi didasarkan pada hal-hal berikut. Pertama, kemampuan
manusia mencapai hubungan langsung secara ruhaniah dengan Tuhan. Kedua,
kemampuan manusia menyadari bahwa dirinya di hadapan Tuhan adalah khalifahNya.
Ketiga, kemampuan manusia mengaktualisasikan hubungan langsung dengan Tuhan dan
kesadaran diri sebagai khalifahNya dalam perilaku konkrit, yakni menjaga
kemaslahatan dunia.
Prosedur
Peneguhan Diri
Para
sufi dari berbagai corak tasawuf memiliki pandangan yang relatif sama mengenai
orientasi tasawuf, yakni mencapai hubungan langsung, sadar, dan sedekat mungkin
dengan Tuhan. Perbedaan yang muncul di antara mereka adalah dalam hal prosedur
untuk pencapaiannya. Tasawuf akhlaki lebih menekankan pembinaan mental melalui
pengendalian nafsu dalam upaya mendekatkan diri dengan Tuhan. Manusia cenderung
mengikuti nafsu. Kondisi semacam itu dapat merusak mental, dan menghalangi orang
untuk dekat dengan Tuhan. Nafsu sebagai kelengkapan diri manusia memang tidak
seharusnya dimatikan, tetapi tidak selayaknya apabila selalu diperturutkan.
Prosedur mendekatkan diri pada tasawuf akhlaki meliputi rangkaian tiga fase
yang berturutan. Langkah pertama adalah takhalli, yakni membersihkan diri dari
sifat-sifat dan hal-hal tercela, melepaskan diri dari ketergantungan duniawi.
Langkah kedua adalah tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat dan hal-hal
terpuji. Langkah ketiga adalah tajalli, yakni terungkapnya nur Ilahi bagi hati
(Asmaran, 1994: 240).
Tasawuf
amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada
Tuhan. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus
mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan-ketentuan agama.
Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan-amalan lahir maupun
batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang
akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan
amalan-amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah)
sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang
mengetahui haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni
mengetahui dan merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman
ini begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
Tasawuf
falsafi memadukan visi mistis dengan visi rasional. Dalam tasawuf falsafi, maqam
tertinggi yang dapat dicapai manusia bukan hanya sampai pada ma’rifah;
tetapi manusia bisa mencapai maqam yang lebih tinggi lagi yakni persatuan
dengan Tuhan. Masalah persatuan manusia-Tuhan adalah masalah metafisik, bukan
semata masalah mistis saja. Kondisi menyatu dengan Tuhan itu tiap sufi
menyebutnya dengan istilah berbeda.
Abu
Yazid Al-Bustami menyebutnya Ittihad yang berarti kesatuan, yakni kesatuan
Tuhan-manusia. Al-Hallaj menyebutnya hulul, yang berarti menjelma, yakni
Tuhan menjelma dalam manusia dan manusia menjelma dalam Tuhan. Ibn ‘Arabi
menyebutnya wahdah-al wujud, yakni kesatuan wujud Tuhan dan manusia, dua
bentuk dalam satu hakikat,Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan.
Suhrawardi menyebut dengan isyraq, yang berarti iluminasi atau pancaran,
yakni Tuhan memancar dalam manusia (Hamka, 1994: 93-116) .
Konsep-konsep
tentang kemungkinan manusia “bersatu” dengan Tuhan tersebut di atas menjadi
pokok perbincangan yang hangat dalam tasawuf, selalu terdapat pendapat
pro-kontra mengenai persoalan tersebut.
Kecenderungan
Sosial sebagai Prosedur Tasawuf
Pada
beberapa sufi, upaya pembangunan mental-spiritual dalam rangka mendekatkan diri
dan bahkan kalau mungkin “bersatu” dengan Tuhan dilakukan dengan cara-cara yang
boleh dikatakan anti sosial. Mereka menempuh jalan sufi dengan cara uzlah (menyendiri)
dari kehidupan sosial. Mereka bersemedi pada suatu tempat tertentu, sehingga
ruhani mereka tidak tercemar oleh hiruk-pikuk persoalan duniawi yang dapat
mengotorkan hati. Gejala ini nampak pada sufi abad I dan II Hijriyah, sebagian
sufi abad III dan IV Hijriyah (Asmaran, 1994, 249). Pada abad I dan II Hijriyah
para sufi menempuh jalah zuhd (menjauhi hidup duniawi) untuk mencapai
kebersihan ruhani. Sementara pada abad III dan IV Hijriyah, berkembang dua
kelompok sufi. Pertama, kelompok yang berfaham moderat, yang ajaran mereka
selalu merujuk pada Al-Qur’an dan hadits. Mereka sangat menekankan pentingnya
moralitas. Kedua, kelompok yang menekankan faham fana (hilang dalam
Tuhan). Kelompok kedua inilah yang mempunyai kecenderungan anti sosial.
Beberapa
literatur mengilustrasikan, anti sosial dalam tasawuf nyata-nyata telah
memposisikan peradaban Islam berada di belakang peradaban Barat. Akibatnya,
muncul kesadaran sosial baru dalam tasawuf. Hal tersebut Nampak pada
perkembangan tasawuf abad V hijriyah dan seterusnya, dengan munculnya tasawuf
Suni, tasawuf yang menyandarkan diri pada Al-Qur’an dan Hadits. Islam
mengajarkan, Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifahNya, memberikan hak
istimewa, menentukan kewajiban, dan tanggungjawab. Tubuh adalah fasilitas bagi
ruh untuk melaksanakan semua ketentuan itu, tubuh bukanlah penjara bagi ruh.
Dunia bukan hukuman bagi manusia, tetapi lapangan bagi pelaksanaan ketentuan
kewajiban. Segala sesuatu di bumi ditetapkan untuk pembebasan jiwa manusia.
Bakat dan dorongan hati manusia telah melahirkan peradaban, budaya, dan sistem
sosial (Maududi, 1983, 89).
Masyarakat,
dengan demikian, justru menyediakan fasilitas dan merupakan ajang pembangunan
ruhani. Tempat yang sebenarnya bagi pertumbuhan dan perkembangan ruhaniah
terletak di tengah-tengah aktivitas kehidupan sosial, bukan di tempat-tempat sunyi pertapaan.
Spiritualitas dan sosialitas harus berjalan bersama dalam Islam, bahkan semua
aspek kemanusiaan merupakan bagian yang integral (Lidinillah, 1995, 20).
Aksentuasi sosial, selain aksentuasi moral-spiritual merupakan trend baru tasawuf
abad V hijriyah hingga sekarang. Kenyataan tersebut semakin mempopulerkan
tasawuf sebagai jalan membangun kemanusiaan dalam segala aspeknya. Orang
semakin menaruh harapan terhadap kemungkinan tasawuf sebagai alternatif
peneguhan kemanusiaan, peneguhan eksistensi manusia.
Kesimpulan
1.
Eksistensi manusia dalam perspektif tasawuf
dimaknai dalam dua hal. Pertama, eksistensi manusia dimaknai sebagai keberadaan
manusia berhadapan dengan Tuhan. Dalam konteks ini, manusia sebagai eksisten
adalah wakil Tuhan di bumi. Subjek yang mengemban amanah menjaga kemaslahatan
bumi sesuai kehendak Tuhan. Kedua, eksistensi manusia dimaknai sebagai cara
berada manusia yang bertolak dari kesadaran diri sebagai wakil Tuhanmu di bumi.
2.
Untuk memahami kehendak Tuhan manusia mesti
berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan melalui pengabdian total.
3.
Kedekatan diri manusia dengan Tuhan adalah
orientasi setiap aliran tasawuf, bahkan tasawuf falsafi memahami dan memaknai
kedekatan hubungan Tuhan manusia lebih jauh lagi. Semakin dekat diri manusia
dengan Tuhan makin sempurna dirinya sebagai khalifah Tuhan, makin teguh
eksistensinya.
4.
Perbedaan prosedur dalam upaya mencapai
kedekatan dengan Tuhan bukanlah perbedaan yang prinsipiil. Perbedaan itu justru
menunjukkan adanya peluang untuk saling melengkapi.
5.
Aksentuasi sosial, di samping aksentuasi
moral-spiritual memposisikan prosedur mistis sebagi alternatif bagi manusia
untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya dan meneguhkan diri sebagai
eksisten
6.
Persoalan metafisik dalam tasawuf falsafi belum
merupakan perbincangan final.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar