Jumat, 08 Februari 2013


Salah satu aturan main dari permainan hidup (the game of life) adalah diberlakukannya hukum kompetisi / persaingan. Kenyataan menunjukkan, semua orang memiliki  keinginan umum yang sama: ingin kaya, ingin dihormati, atau ingin bahagia sejahtera tetapi tidak diberi alat (personal strength / weakness) yang sama dalam hal kadar dan jenis. Kesamaan dalam perbedaan inilah bagian yang memicu hukum kompetisi. Ajaran teologi menegaskan, bersainglah kalian dalam hal kebaikan. Perintah itu menunjukkan, meskipun berbeda kadar dan jenis keunggulan-kelemahan tetapi semua manusia punya kesempatan sama untuk mengembangkannya. Teori manajemen bisnis juga  meletakkan daya keunggulan bersaing (competitive advantage) sebagai bagian pilar kekuatan yang membedakan  bagi bisnis yang menang.

Makna

Kalau dikaji ke akar-makna, kompetisi seperti apakah yang klop dengan tatanan alamiyah itu? Secara harfiah, kompetisi (to compete) adalah ikut andil  dalam sebuah permainan (game / exam).  Kompetisi berasal dari bahasa Latin (To competere) yang kalau di-inggris-kan menjadi "To seek together" (mencari bersama), "To agree" (menyetujui) atau "To coincide" (menyepakati). Kalau dikembalikan kepada gramatika bahasa, kompetisi adalah kata kerja Intransitive yang berarti tidak membutuhkan objek sebagai korban kecuali ditambah dengan pasangan kata  lain seperti Against (melawan),  Over (atas), atau With (dengan). Tambahan itu pilihan hidup dan bisa disesuaikan dengan kepentingan keadaan menurut versi tertentu.   
Hasil dari kompetisi  adalah kemenangan (Winning). Kalau kita lihat di kamus, winning adalah menjadi pemenang berkat perjuangan (doing the best). Kalau berdiri sendiri ia bisa dimasukkan ke dalam golongan kata kerja Intransitive kecuali ditambah pasangan kata lain berupa Over atau Against.  Dari sini terlihat, baik kompetisi dan kemenangan  tidak kita temukan indikasi adanya ajaran yang menjadikan orang lain sebagai objek / korban. Doktrin  kesatrian Jawa mengatakan, orang baru  pantas  bergelar kesatria kalau ia sudah bisa menang tanpa mengalahkan.

Kongkurensi

Masalah yang setiap saat muncul dalam permainan hidup adalah penyimpangan dari akar-makna di mana kompetisi kita ganti artinya dengan kongkurensi (to conquer: defeat / overcame enemy): mengalahkan orang lain / musuh. Secara gramatika, kongkurensi berbeda dengan kompetisi karena kongkurensi tanpa dibubuhi pasangan sudah berbentuk kata kerja transitif atau membutuhkan objek. Dalam kongkurensi hasil yang akan didapat bukan "winning" (menang) melainkan "beating" (memukul mundur). Bedanya lagi, kompetisi menyaratkan kepemilikan kompetensi (baca: keahlian) sebagai alat meraih kemenangan sementara dalam kongkurensi, bentuk game yang dipertujukkan adalah komparasi (comparison-game), gaya hidup membandingkan secara tidak sehat (self excusing).   
Kalau kita gunakan mekanisme pengandaian-diri, praktek kongkurensi adalah produk muatan pikiran irrational  yang bertentangan dengan logika hidup rasional. Orang lain itu sama seperti kita dalam arti tidak ada yang mau dikalahkan oleh kemenangan orang kecuali terpaksa yang menyisakan dendam. Di samping itu praktek kongkurensi juga bertentangan dengan Hukum Alam tentang pemberlakuan pasal sinergisasi keunggulan (the secret value of difference). Kongkurensi telah menyediakan posisi bagi orang lain sebagai lawan sehingga semua persoalan hubungan (interpersonal) harus diselesaikan dengan cara peperangan (conflict). Bentuk peperangan yang paling halus adalah perang psikologi di dalam diri di mana kita kurang ikhlas menerima keberadaan orang lain.
Munculnya praktek kongkurensi demikian tidak bisa dipisahkan dari akar penyebab yaitu mempertahankan kebenaran sendiri. Hukum Alam menegaskan kebenaran itu satu dalam pengertian utuh-mutlak. Tetapi yang sering kita praktekkan adalah kebenaran itu satu dalam pengertian sendiri-sendiri yang dilahirkan dari pandangan dan pola pikir dualistik. Dengan pengertian kedua, seorang penjahat pun tetap punya peluang membela diri atas nama kebenaran yang dipahami.
Satu hal yang paradok bahwa keinginan kita dengan mempertahankan kebenaran sendiri adalah meraih kemenangan tetapi praktekknya kebenaran sendiri adalah kekalahan / dikalahkan. Mengapa? Kebenaran sendiri mununtut konflik dan ketika konflik tersebut sudah menjadi gaya hidup, maka fokus konsentrasi kita mengarah pada upaya bagaimana mengalahkan orang lain. Fokus konsentrasi yang dialamatkan ke luar akan membuat keunggulan-diri di dalam menjadi yatim / timpang.  Kalau hanya sekali mungkin tidak fatal tetapi apabila sudah menjadi gaya hidup, akibatnya sama dengan seorang prajurit yang berbekal pedang tumpul.
Pendek kata kalau yang kita inginkan dengan kongkurensi itu adalah kemenangan maka jurus kongkurensi pada dasarnya malah memperpanjang, mempersulit dan cenderung lebih boros.  Sementara ada jurus lain yang lebih pendek, lebih enak dan tidak rawan konflik yaitu  mengasah keunggulan dan keunggulan bagi setiap orang itu berada di dalam dirinya. Salah satu cara mengasah adalah dengan mengubah pilihan paradigma hidup tentang kompetisi di dalam pikiran kita. 

Apa yang harus anda lakukan?  

Apa yang terjadi di dalam dunia bisnis sebenarnya  menggambarkan  peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan kita secara keseluruhan. Tidak ada produk apapun yang bebas pesaing atau bisa dikatakan tingkat persaingan hidup semakin "hyper". Kalau kompetisi itu kita artikan dengan kongkurensi maka konsekuensinya adalah semakin banyak jumlah konflik yang kita ciptakan sementara kita  memiliki resource waktu  dari dulu sampai sekarang  hanya 24 jam. Atas alasan itulah  rasanya kita perlu menjalankan rumusan pembelajaran-diri guna menciptakan penyikapan lebih sehat dalam berkompetisi. Bagaimana caranya?  Kita bisa memulai langkah dari menjalani proses berikut:

1.    Berani memulai
2.    Fokus pada keunggulan
3.    Transformasi energi kongkurensi

Semua orang sudah memiliki keberanian tetapi hambatan yang dihadapi adalah kemauan menjalani pembelajaran untuk menguasai rasa takut yang biasanya diciptakan dari paradigma populer yang  salah. Mengubah paradigma hidup dari kongkurensi menjadi kompetisi membutuhkan keberanian melawan tipuan rasa takut yang kita praktekkan dalam bentuk sikap menuntut / menunggu perubahan orang lain;  seakan-akan kalau kita yang mengawali maka kitalah korban. Di sinilah hukum paradok antara "kelihatan" dan "kenyataan" terjadi.
Kalau kita menunggu perubahan orang lain sebagai syarat mutlak, maka "kelihatannya" kita menang dan orang lain menjadi korban tetapi "kenyataannya" justru kita menempatkan diri sendiri sebagai korban perubahan orang lain padahal kemenangan  bukan hak bagi orang yang sedang memilih menjadi korban. Di samping itu, orang lain  juga mempunyai pemahaman yang sama: menunggu kita berubah. Kalau kita takut dan orang lain juga takut maka keadaan yang terjadi sama dengan membudidayakan akibat supaya beranak akibat.
Belajar dari pengalaman orang sukses di dunia, tehnik menghilangkan ketakutan adalah melawannya dengan  keberanian menjalankan apa yang kita takuti. Umumnya ketakutan itu hanya terjadi di alam mental-emosional bukan ada di alam fisik.  Keberanian  memulai merupakan tangga  menuju pengerahan fokus perhatian pada pengembangan ke dalam (keunggulan-diri) untuk dikeluarkan guna menciptakan benefit bagi kita dan orang lain atau kemenangan (winning).
Kalau dikaji dari Hukum Sebab Akibat, kemenangan adalah akibat dan sebabnya adalah menciptakan "The best" yang paling optimal dari kemampuan kita.   Pendapat para ahli dari mulai tokoh peperangan klasik, olah raga (atletik) sampai bisnis modern punya kesimpulan sama. Hanya dengan menjadi the best kita bisa bebas dari kompetisi yang dipraktekkan dengan kongkurensi. The best yang dimaksudkan adalah the best dari dalam (optimum effort).  Meskipun bisa jadi di bawah grade orang lain, tetapi kalau kita sudah menjadi the best dari dalam, maka kita tidak mudah merasa dikalahkan oleh orang lain dan yang pasti sudah menang dengan diri sendiri.
Menjadi the best dari dalam kalau dikaji dari doktrin kejuaran atletik menuntut aplikasi tiga hal ( Dennis B. Weis dalam Mind Power Doctrine of an Iron Warrior: 2003). Pertama,  kepercayaan diri dan keyakinan prinsip. Sehebat apa pun bakat dasar seorang atlet kalau dirinya tidak yakin adanya bakat itu, maka kehebatan itu bukan keunggulan yang bisa dijadikan the best (baca juga artikel: Konsep Diri). Kedua, rumusan yang jelas tentang tujuan jangka panjang, menengah, dan pendek. Semua atlet hanya akan diizinkan menunjukkan keunggulan berdasarkan tingkatan kemajuan. Tidak langsung besar atau hanya puas dengan yang sudah ada. Dan ketiga, metode  atau manajemen aktivitas latihan. Dari sudut pandang Hukum Kompetisi, kita adalah atlet kehidupan yang harus memiliki disiplin-diri untuk menjalani pengasahan keunggulan dengan metode yang telah kita rasakan paling efektif.
Metode yang mendesak untuk ditemukan adalah  mengalihkan (transformasi) objek sasaran kongkurensi.  Kalau dulu kongkurensi kita arahkan pada  orang lain, maka sudah saatnya kita perlu sedikit demi sedikit mengalihkan wilayah objek ke dalam, yaitu kelemahan-diri yang kerapkali menghambat munculnya keunggulan. Memang mustahil kelemahan itu dihilangkan sebab yang dibutuhkan adalah menguasainya. Seperti dikatakan dalam ajaran samurai, kalau anda ingin dikelilingi pasukan yang unggul maka lebih dahulu anda harus menjadi unggul.
Seiring dengan kecepatan perubahan, tuntutan itu semakin mendesak, mengingat begitu kelemahan-diri tidak ditaklukkan maka ia akan menjadi pemenang. Kalau kita kalah, kebiasaan hidup yang sering muncul adalah: kepada Tuhan kita melempar tanggung jawab untuk mengubah nasib; Kepada orang lain kita ingin mengalahkan; Kepada keadaan kita pasrah; Kepada diri sendiri kita membenci. Padahal yang diperintahkan adalah: kepada Tuhan kita menghamba, kepada diri sendiri kita memimpin, kepada orang lain kita bersinergi dan kepada keadaan kita melawan / mengatasi. Semoga berguna.(jp)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar