|
Salah satu aturan main dari permainan hidup (the
game of life) adalah diberlakukannya hukum kompetisi / persaingan.
Kenyataan menunjukkan, semua orang memiliki
keinginan umum yang sama: ingin kaya, ingin dihormati, atau ingin
bahagia sejahtera tetapi tidak diberi alat (personal strength / weakness)
yang sama dalam hal kadar dan jenis. Kesamaan dalam perbedaan inilah bagian
yang memicu hukum kompetisi. Ajaran teologi menegaskan, bersainglah kalian
dalam hal kebaikan. Perintah itu menunjukkan, meskipun berbeda kadar dan
jenis keunggulan-kelemahan tetapi semua manusia punya kesempatan sama untuk
mengembangkannya. Teori manajemen bisnis juga
meletakkan daya keunggulan bersaing (competitive advantage)
sebagai bagian pilar kekuatan yang membedakan
bagi bisnis yang menang.
|
|
Makna
|
|
Kalau dikaji ke akar-makna, kompetisi seperti apakah
yang klop dengan tatanan alamiyah itu? Secara harfiah, kompetisi (to
compete) adalah ikut andil dalam
sebuah permainan (game / exam).
Kompetisi berasal dari bahasa Latin (To competere) yang kalau
di-inggris-kan menjadi "To seek together" (mencari bersama),
"To agree" (menyetujui) atau "To coincide" (menyepakati).
Kalau dikembalikan kepada gramatika bahasa, kompetisi adalah kata kerja Intransitive
yang berarti tidak membutuhkan objek sebagai korban kecuali ditambah dengan
pasangan kata lain seperti Against
(melawan), Over (atas), atau With
(dengan). Tambahan itu pilihan hidup dan bisa disesuaikan dengan kepentingan
keadaan menurut versi tertentu.
Hasil dari kompetisi adalah
kemenangan (Winning). Kalau kita lihat di kamus, winning adalah
menjadi pemenang berkat perjuangan (doing the best). Kalau berdiri
sendiri ia bisa dimasukkan ke dalam golongan kata kerja Intransitive
kecuali ditambah pasangan kata lain berupa Over atau Against. Dari sini terlihat, baik kompetisi dan
kemenangan tidak kita temukan indikasi
adanya ajaran yang menjadikan orang lain sebagai objek / korban. Doktrin kesatrian Jawa mengatakan, orang baru pantas
bergelar kesatria kalau ia sudah bisa menang tanpa mengalahkan.
|
|
Kongkurensi
|
|
Masalah yang setiap saat muncul dalam permainan hidup
adalah penyimpangan dari akar-makna di mana kompetisi kita ganti artinya
dengan kongkurensi (to conquer: defeat / overcame enemy): mengalahkan
orang lain / musuh. Secara gramatika, kongkurensi berbeda dengan kompetisi
karena kongkurensi tanpa dibubuhi pasangan sudah berbentuk kata kerja
transitif atau membutuhkan objek. Dalam kongkurensi hasil yang akan didapat
bukan "winning" (menang) melainkan "beating" (memukul
mundur). Bedanya lagi, kompetisi menyaratkan kepemilikan kompetensi (baca:
keahlian) sebagai alat meraih kemenangan sementara dalam kongkurensi, bentuk
game yang dipertujukkan adalah komparasi (comparison-game), gaya hidup
membandingkan secara tidak sehat (self excusing).
Kalau kita gunakan mekanisme pengandaian-diri, praktek kongkurensi adalah
produk muatan pikiran irrational yang
bertentangan dengan logika hidup rasional. Orang lain itu sama seperti kita
dalam arti tidak ada yang mau dikalahkan oleh kemenangan orang kecuali
terpaksa yang menyisakan dendam. Di samping itu praktek kongkurensi juga
bertentangan dengan Hukum Alam tentang pemberlakuan pasal sinergisasi
keunggulan (the secret value of difference). Kongkurensi telah
menyediakan posisi bagi orang lain sebagai lawan sehingga semua persoalan
hubungan (interpersonal) harus diselesaikan dengan cara peperangan (conflict).
Bentuk peperangan yang paling halus adalah perang psikologi di dalam diri di
mana kita kurang ikhlas menerima keberadaan orang lain.
Munculnya praktek kongkurensi demikian tidak bisa dipisahkan dari akar
penyebab yaitu mempertahankan kebenaran sendiri. Hukum Alam menegaskan
kebenaran itu satu dalam pengertian utuh-mutlak. Tetapi yang sering kita
praktekkan adalah kebenaran itu satu dalam pengertian sendiri-sendiri yang
dilahirkan dari pandangan dan pola pikir dualistik. Dengan pengertian kedua,
seorang penjahat pun tetap punya peluang membela diri atas nama kebenaran
yang dipahami.
Satu hal yang paradok bahwa keinginan kita dengan mempertahankan
kebenaran sendiri adalah meraih kemenangan tetapi praktekknya kebenaran
sendiri adalah kekalahan / dikalahkan. Mengapa? Kebenaran sendiri mununtut
konflik dan ketika konflik tersebut sudah menjadi gaya hidup, maka fokus
konsentrasi kita mengarah pada upaya bagaimana mengalahkan orang lain. Fokus
konsentrasi yang dialamatkan ke luar akan membuat keunggulan-diri di dalam
menjadi yatim / timpang. Kalau hanya
sekali mungkin tidak fatal tetapi apabila sudah menjadi gaya hidup, akibatnya
sama dengan seorang prajurit yang berbekal pedang tumpul.
Pendek kata kalau yang kita inginkan dengan kongkurensi itu adalah
kemenangan maka jurus kongkurensi pada dasarnya malah memperpanjang,
mempersulit dan cenderung lebih boros.
Sementara ada jurus lain yang lebih pendek, lebih enak dan tidak rawan
konflik yaitu mengasah keunggulan dan
keunggulan bagi setiap orang itu berada di dalam dirinya. Salah satu cara
mengasah adalah dengan mengubah pilihan paradigma hidup tentang kompetisi di
dalam pikiran kita.
|
|
Apa yang harus anda lakukan?
|
|
Apa yang terjadi di dalam dunia bisnis sebenarnya menggambarkan peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan
kita secara keseluruhan. Tidak ada produk apapun yang bebas pesaing atau bisa
dikatakan tingkat persaingan hidup semakin "hyper". Kalau kompetisi
itu kita artikan dengan kongkurensi maka konsekuensinya adalah semakin banyak
jumlah konflik yang kita ciptakan sementara kita memiliki resource waktu dari dulu sampai sekarang hanya 24 jam. Atas alasan itulah rasanya kita perlu menjalankan rumusan
pembelajaran-diri guna menciptakan penyikapan lebih sehat dalam berkompetisi.
Bagaimana caranya? Kita bisa memulai
langkah dari menjalani proses berikut:
|
|
1. Berani memulai
2. Fokus pada keunggulan
3. Transformasi energi kongkurensi
|
|
Semua orang sudah memiliki keberanian tetapi hambatan yang dihadapi
adalah kemauan menjalani pembelajaran untuk menguasai rasa takut yang
biasanya diciptakan dari paradigma populer yang salah. Mengubah
paradigma hidup dari kongkurensi menjadi kompetisi membutuhkan keberanian
melawan tipuan rasa takut yang kita praktekkan dalam bentuk sikap menuntut /
menunggu perubahan orang lain;
seakan-akan kalau kita yang mengawali maka kitalah korban. Di sinilah
hukum paradok antara "kelihatan" dan "kenyataan" terjadi.
Kalau kita menunggu perubahan orang lain sebagai syarat mutlak, maka
"kelihatannya" kita menang dan orang lain menjadi korban tetapi
"kenyataannya" justru kita menempatkan diri sendiri sebagai korban
perubahan orang lain padahal kemenangan
bukan hak bagi orang yang sedang memilih menjadi korban. Di samping
itu, orang lain juga mempunyai pemahaman
yang sama: menunggu kita berubah. Kalau kita takut dan orang lain juga takut
maka keadaan yang terjadi sama dengan membudidayakan akibat supaya beranak
akibat.
Belajar dari pengalaman orang sukses di dunia, tehnik menghilangkan
ketakutan adalah melawannya dengan
keberanian menjalankan apa yang kita takuti. Umumnya ketakutan itu
hanya terjadi di alam mental-emosional bukan ada di alam fisik. Keberanian
memulai merupakan tangga menuju
pengerahan fokus perhatian pada pengembangan ke dalam (keunggulan-diri) untuk
dikeluarkan guna menciptakan benefit bagi kita dan orang lain atau
kemenangan (winning).
Kalau dikaji dari Hukum Sebab Akibat, kemenangan adalah akibat dan
sebabnya adalah menciptakan "The best" yang paling optimal
dari kemampuan kita. Pendapat para
ahli dari mulai tokoh peperangan klasik, olah raga (atletik) sampai bisnis
modern punya kesimpulan sama. Hanya dengan menjadi the best kita bisa
bebas dari kompetisi yang dipraktekkan dengan kongkurensi. The best
yang dimaksudkan adalah the best dari dalam (optimum effort).
Meskipun bisa jadi di bawah grade orang lain, tetapi kalau kita sudah
menjadi the best dari dalam, maka kita tidak mudah merasa dikalahkan
oleh orang lain dan yang pasti sudah menang dengan diri sendiri.
Menjadi the best dari dalam kalau dikaji dari doktrin kejuaran
atletik menuntut aplikasi tiga hal ( Dennis B. Weis dalam Mind Power
Doctrine of an Iron Warrior: 2003). Pertama, kepercayaan diri dan keyakinan prinsip.
Sehebat apa pun bakat dasar seorang atlet kalau dirinya tidak yakin adanya
bakat itu, maka kehebatan itu bukan keunggulan yang bisa dijadikan the
best (baca juga artikel: Konsep Diri). Kedua, rumusan yang jelas tentang tujuan
jangka panjang, menengah, dan pendek. Semua atlet hanya akan diizinkan
menunjukkan keunggulan berdasarkan tingkatan kemajuan. Tidak langsung besar
atau hanya puas dengan yang sudah ada. Dan ketiga, metode atau manajemen aktivitas latihan. Dari sudut
pandang Hukum Kompetisi, kita adalah atlet kehidupan yang harus memiliki
disiplin-diri untuk menjalani pengasahan keunggulan dengan metode yang telah
kita rasakan paling efektif.
Metode yang mendesak untuk ditemukan adalah mengalihkan (transformasi) objek sasaran
kongkurensi. Kalau dulu kongkurensi
kita arahkan pada orang lain, maka
sudah saatnya kita perlu sedikit demi sedikit mengalihkan wilayah objek ke
dalam, yaitu kelemahan-diri yang kerapkali menghambat munculnya keunggulan.
Memang mustahil kelemahan itu dihilangkan sebab yang dibutuhkan adalah
menguasainya. Seperti dikatakan dalam ajaran samurai, kalau anda ingin
dikelilingi pasukan yang unggul maka lebih dahulu anda harus menjadi unggul.
Seiring dengan kecepatan perubahan, tuntutan itu semakin mendesak,
mengingat begitu kelemahan-diri tidak ditaklukkan maka ia akan menjadi
pemenang. Kalau kita kalah, kebiasaan hidup yang sering muncul adalah: kepada
Tuhan kita melempar tanggung jawab untuk mengubah nasib; Kepada orang lain
kita ingin mengalahkan; Kepada keadaan kita pasrah; Kepada diri sendiri kita
membenci. Padahal yang diperintahkan adalah: kepada Tuhan kita menghamba,
kepada diri sendiri kita memimpin, kepada orang lain kita bersinergi dan
kepada keadaan kita melawan / mengatasi. Semoga berguna.
|
Jumat, 08 Februari 2013
Antara Kompetisi & Kongkurensi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar